Mencermati Problem Lingkungan Hidup


Judul Buku : Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi
Penulis : Eddy Kristiyanto, dkk.
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 230 halaman

Ketika bencana alam bertubi-tubi menimpa Indonesia, entah banjir yang melumpuhkan dan menghancurkan maupun kekeringan yang mematikan, entah tanah longsor dalam skala besar maupun gempa bumi yang menelan banyak korban manusia dan material, banyak orang mulai mencurigai akan adanya sesuatu yang tidak beres pada diri manusia dalam berelasi dengan lingkungannya. Lebih-lebih ketika bencana bencana-bencana alam serupa ini terjadi utamanya di negara-negara berkembang dan miskin, orang mulai mempertimbangkan kemungkinan adanya politik pembangunan pemerintah yang tidak ramah lingkungan dan yang ditunggangi oleh motif-motif ekonomi yang profit oriented.

Agaknya semua orang sepakat bahwa pencemaran dan kerusakan lingkungan (tanah, air, udara) disebabkan oleh berbagai kecerobohan manusia secara terus menerus. Sebut saja sebagai contoh pembalakan liar dan pembabatan hutan, pembuangan limbah industri dan sampah rumah tangga secara tidak bertanggung jawab, dan sebagainya. Kerusakan ekologis konflik ini ternyata juga melukai lingkungan sosial. Lihat misalnya, konflik kepentingan dalam mengatur ‘penguasaan’ dan ‘pengelolaan’ sumber daya alam (SDA) antara para pemilik modal dan para penegak hukum; konflik antara kepentingan pemilik industri dengan kesejahteraan masyarakat sekitar; konflik antara kebijakan pemerintah dengan kepentingan rakyat jelatan, dan berbagai konflik horisontal antara rakyat sendiri.

Lumpur panas Porong, sidoarjo (2006), yang juga dikenal sebagai ‘Lumpur Sidoarjo’ (Lusi) atau ‘Lumpur Lapindo’ barangkali dapat menjadi salah satu contoh petaka ekologis yang sangat menyedihkan. Tragedi ekologi ini telah menghancurkan ifrastruktur maupun suprastruktur kehidupan sosial setempat; hancur dan tenggelamnya area pertanian dalam skala yang luas, perindustrian di tiga kecamatan, pemukiman penduduk, dan ruas jalan tol, di samping korban-korban jiwa.

Tragedi kemanusiaan berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan ini telah melumpuhkan berbagai sendir kehidupan manusia puluhan ribu penduduk dibuat tidak berdaya, tidak terhitung berapa pula besar kerugian sosial ekonomis dan psikologis yang diderita oleh masyarakat Jawa Timur pada khususnya. Belum lagi konflik horisontal antara penduduk desa yang menjadi korban luapan lumpur panas ini.

Tahun 2006-2007 memang merupakan bencana bagi Indonesia. Bencana alam melanda negeri ini secara silih berganti. Sehubungan dengan Lusi yang menyembur sejak Senin, 29 Mei 2006 ini, pertanyaan kita: “Kapankah petaka ini akan berakhir?” sepertinya, tidak seorang pun dapat memprediksikannya. Para pakar geologi, perminyakan atau tertambangan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, maupun lembaga-lembaga bentukan pemerintah tidak kuasa mengatasinya. Apalagi rakyat jelata yang menjadi korban dan penderita langsung bencana ini! Begitu juga masyarakat luas pengguna jalan utama yang menghubungkan Surabaya dengan Malang dan kota-kota yang di sekitarnya, yang transportasinya dihancurkan oleh luberan lumpur yang tidak terkendalikan itu. Yang jelas, sejak lumpur panas itu menyembur sampai saat ini, tampaknya tidak ada pihak yang diuntungkan. Semua orang dirugikan.

Aparat keamanan sudah menjadi korban. Masyarakat pun sudah menjadi korban. Lapindo Brantas Inc tidak kalah ruginya, sudah kehilangan biaya yang begitu besar. Pemerintah, baik di daerah maupun pusat, terkena citra buruk karena dinilai lamban dan tidak tegas.

Lusi hanyalah salah satu contoh saja dari tragedi ekologis yang di alami Indonesia. Orang memang dapat saja bertanya: “Mengapa begitu banyak bencana alam terjadi di negeri ini?” orang boleh saja berteori mengenai berbagai alasan yang menyebabkan petaka kemanusiaan ini dan menawarkan kemungkinan-kemungkinan solusinya. Agaknya, kebanyakan analisis itu menunjuk pada, pertama, keserakahan dan sadisme manusia-tepatnya, sekelompok manusia dan lembaga-lembaga tertentu-terhadap lingkungan alam, di samping pola konsumsi tinggi masyarakat modern. Kalau benar PT Lapindo Brantas mengadakan eksplorasi tanpa Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), bagi Ali Ashar Akbar, seorang pengamat perminyakan, ini adalah suatu keanehan yang memberi indikasi adanya persekongkolan yang dapat dianggap pelanggaran ekologis dan penjahat lingkungan.

Kedua, seperti telah dikatakan di atas, kemungkinan salah urus dan kebijakan pemerintah (pusat maupun daerah) yang tidak bijaksana turut memberi andil pada bencana ini. Untuk kasus Lusi, ada sementara pihak yang bahkan menengarai kemungkinan adanya konspirasi kotor di baliknya, di samping pejabat-pejabat korup yang mendukung kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat jelata.

Ketiga, kegagalan teknologi yang dipakai manusia untuk mengeksploitasi alam. Dalam kasus Lusi ini tampak cukup jelas bahwa petaka ini adalah ‘man made disaster’, yakni bencana yang dipicu oleh kegiatan industri.

Memahami kondisi di atas, buku Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi;Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup berupaya menjawab problema lingkungan hidup dewasa ini yang makin hancur oleh berbagai kecerobohan manusia. Dengan turut menyuarakan keprihatinan banyak pihak atas ketidakadilan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber kehidupan lainnya seperti sumberdaya manusia.

Dalam buku setebal 230 halaman ini, Eddy Kristiyanto menganggap bahwa bencana yang berupa krisis dan kerusakan ekologi ini pada dasarnya berhubungan erat dengan kualitas moral kita. Keserakahan, kerakusan, dan kesembronoan manusia yang ingin mendapat keuntungan banyak dalam jangka pendek, yang nyata dalam eksploitasi alam secara besar-besaran ini.

Di samping itu, Eddy juga prihatin atas tidak adanya penegakan hukum yang tegas dan konsekuen menjadi sumber pemicu penting. Perusakan ekologi terjadi secara terbuka dan tak terkendalikan, entah dalam bentuk pembabatan hutan entah pengerukan mineral dan sebagainya. Begitu banyak pelaku perusakan ekologi di negeri ini yang lolos dari jerat hukum? Ditambah lagi, lambannya tanggapan pemerintah terhadap nasib para korban bencana ekolog, tragedi Lusi menunjukkan rendahnya kepedulian kita terhadap krisis lingkungan.

Komentar

Postingan Populer