Fenomena Penanganan Korupsi


Judul Buku : Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara
Penulis : Marwan Batubara, dkk
Penerbit : Haekal Media Center
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xx + 371 halaman

Ketika skandal Bantual Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali diangkat ke permukaan, mungkin sebagian orang akan mempertanyakan mengapa catatan hitam Indonesia harus kembali diungkit. Apa relevansinya? Apakah bermanfaat menguak kembali berkas-berkas korupsi masa lalu untuk kepentingan masa sekarang? Tidakkah lebih baik kasus tersebut dikubur dan diterima saja sebagai ongkos krisis, meskipun sangat mahal harganya, sehingga kita dapat memfokuskan diri pada agenda-agenda perbaikan ekonomi di masa depan?

Jawabannya jelas: karena selain penyelesaian sarat dengan rekayasa dan KKN, kasus BLBI juga memiliki dampak yang sangat luas pada perekonomian bangsa saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu ke depan. Demikian besarnya kerusakan yang diakibatkan skandal BLBI, hingga beban harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia berupa pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya hingga paling tidak tahun 2021. jumlah minimal utang yang harus dibayar tersebut Rp 630 triliun. Bahkan, dalam skenario terburuk (seperti misalnya jika pemerintah terus melakukan penjadwalan ulang terhadap utang-utang tersebut), beban yang harus dibayar dapat mencapai Rp. 2.000 triliun!

Membengkaknya jumlah utang negara itu sendiri terutama diakibatkan oleh kebijakan pengucuran obligasi rekapitalisasi (OR) perbankan, yang tak lain merupakan upaya lanjutan penyelamatan dan penyehatan bank-bank nasional di saat krisis setelah kebijakan BLBI. Total dana yang dikucurkan dalam kebijakan ini mencapai sekitar Rp 431 triliun, yang disuntikkan pemerintah melalui penerbitan obligasi (surat utang). Karena diberikan dalam bentuk obligasi, maka jumlah dana yang harus dibayar pemerintah pun menjadi jauh lebih besar, sebagai akibat tambahan bunga obligasi yang harus dibayarkan-yang nilainya bahkan lebih besar dari nilai pokoknya, yaitu paling tidak sekitar Rp 600 triliun, dengan cicilan sekitar Rp 40-50 triliun tiap tahunnya(hal.xi).

Beban pembayaran utang yang fantastis tersebut pada akhirnya berujung pada minimnya kemampuan APBN dalam mengongkosi berbagai kebutuhan negara. Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas untuk menyesuaikan diri dengan kondisi keuangan APBN yang pas-pasan. Sasaran paling mudah untuk penghematan tersebut, lagi-lagi adalah rakyat. Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, subsidi listrik, dan BBM harus ditekan semaksimal mungkin agar tidak mengganggu kemampuan negara dalam membayar utang.

Minimnya anggaran negara juga memaksa pemerintah setiap tahunnya harus menjual sejumlah aset untuk menutup defisit anggaran. Padahal, penjualan berbagai aset ini pun umumnya tidak menghasilkan keutungan maksimal, karena harga jualnya jauh di bawah pasar. Hal ini sendiri memang sesuatu yang sulit dihindarkan, mengingat penjualan aset-aset negara tersebut umumnya dilakukan untuk mengejar target penerimaan negara dalam waktu yang relatif singkat. Obral aset pun menjadi pilihan yang paling mudah untuk diambil pemerintah.

Penjualan aset-aset negara ini bahkan memiliki dampak yang lebih buruk dalam jangka panjang. Patut diingat, bahwa aset-aset negara merupakan penyumbang rutin bagi pemasukan negara dalam APBN. Sehingga, dengan dijualnya aset-aset tersebut, maka negara sesungguhnya juga kehilangan potensi penerimaannya di masa mendatang (future earning). Sumber penerimaan negara setiap tahunnya akan berkurang. Dengan demikian, Indonesia akan semakin terjebak dalam lilitan paceklik ekonomi, karena himpitan beban utang yang harus dibayar disatu sisi bertemu dengan terlucutinya sumber-sumber penerimaan negara di sisi yang lain.

Berbagai situasi sulit ini merupakan warisan segelintir orang di masa lalu yang melakukan KKN dan secara ‘sembrono’ menyimpangkan ratusan triliun rupiah uang negara dalam skandal BLBI. Karena itu, sangat wajar jika pihak-pihak yang terlibat skandal BLBI dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahan yang mereka lakukan, baik secara perdata dengan mengembalikan uang negara yang telah mereka kuras, maupun secara pidana dengan menjalani hukuman yang sepantasnya, sesuai dengan hukuman yang berlaku.

Ironisnya, penyelesaian kasus ini tidak pernah dapat dilakukan secara tuntas, meskipun telah empat periode pemerintahan (Habibie, GusDur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudoyono). Masing-masing pemerintah justru mengeluarkan kebijakan kontroversial yang merendahkan supremasi hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Misalnya saja, pemerintah Habibie yang memulai pola penyelesaian kasus BLBI melalui out of court settlement (penyelesaian di luar jalur pengadilan), pemerintah Megawati yang menerbitkan Inpres No.8 tahun 2002 tentang release and discharge yang memberikan ampunan penuh bagi obligor, dan pemerintahan SBY yang menjanjikan pemberian Surat Keterangan Penyelesaian Kewajiban (SKPK) bagi obligor yang melunasi utangnya (sehingga akan mengesampingkan kasus pidana yang dilakukannya).

Kehadiran buku ini Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara sesungguhnya merupakan wujud dari ketidakpuasan dan protes para penulis terhadap penanganan kasus BLBI selama ini yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Dengan banyaknya uang negara yang telah terhamburkan, ditambah ketidak tegasan pemerintah dalam menindak koruptor BLBI dan melakukan penegakan hukum. Para pengemplang BLBI justru menikmati berbagai kemudahan di negeri ini.

Dalam buku ini pembaca/masyarakat juga akan mendapati rangkaian peristiwa di seputar skandal BLBI dan proses penyelesaiannya dalam sebuah kerangka yang cukup memadai sehingga peristiwa ini dapat lebih mudah dimaknai dan dapat secara lugas disikapi. Dengan juga menyajikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang duduk persoalan BLBI dan implikasi-implikasi yang diakibatkannya.

Komentar

Postingan Populer