Biaya Sekolah Diserahkan Pasar


Judul Buku : Sekolah Bukan Pasar
Penulis : St. Kartono
Penerbit : Kompas
Cetakan : Pertama, Juni 2009
Tebal : 221 halaman

Ada jarak sangat jauh bagi kita untuk mencapai kondisi di mana ada kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati setiap jenjang pendidikan dalam sistem pendidikan” Joseph A Soares (Penulis Buku The Power of Privilege, Yale and America’s Elite College)

Pendidikan tinggi bermutu membutuhkan pembiayaan mahal. Tidak heran pada tahun 2009, untuk masuk perguruan tinggi sekaliber UGM, setiap semester mahasiswa harus membayar Rp 1,58 sampai 1,85 juta, ITB Rp 2,7 sampai Rp 3,7 juta, dan Unpad 2,5 juta. Biaya ini berlaku bagi mereka yang lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), berbeda dengan mereka yang melalui jalur Seleksi Masuk jalur khusus dengan harus membayar sumbangan puluhan hingga ratusan juta, tergantung jurusan yang diambil. Seperti Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran (SMUP) pada Fakultas Kedokteran dengan sumbangan minimal Rp 175 juta, sementara Fakultas Peternakan, Sastra dan MIPA memasang harga minimal Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Fakultas lain, seperti Hukum dan Ekonomi minimal sumbangan sekitar Rp 30 juta.

Selanjutnya, yang patut menjadi pertanyaan adalah benarkan PTN yang mahal pasti bermutu? Bisakah kemahalan PTN itu dibebankan kepada masyarakat, sementara pemerintah cuci tangan begitu saja? Siapa lagi yang dapat menghentikan laju kemahalan itu? Dengan alasan kekurangan dana, pemerintah mengibarkan otonomi PTN yang ditandai dengan perubahan status menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang selanjutnya dirubah BHP (Badan Hukum Pendidikan). Otonomi itu bukan hanya dengan membuka kesempatan seluas-luasnya untuk pihak swasta di dalam dan luar negeri menawarkan jasa pendidikan, tetapi juga membiarkan PTN mencari dan menghimpun dana dari masyarakat. Dengan berbagai dalih, PTN yang selama ini diunggulkan dengan program-program khusus seperti program internasionalisasi, menyejajarkan kompetisi kecerdasan dengan kompetisi duit. Dukungan masyarakat hanyalah diterjemahkan dengan menarik biaya tinggi.

Menurut penulis buku Sekolah Bukan Pasar ini, St. Kartono, ketika PTN tidak perlu menjadi tanggungan negara, cukup diberikan kepada mekanisme pasar. Disitulah PTN berangsur-angsur menjadi tempat eksklusif yang memberikan pelayanan hanya kepada mereka yang mampu membayar. PTN yang dicita-citakan oleh negara untuk memberikan kesempatan pendidikan yang murah bagi kebanyakan anak negeri ini, toh akhirnya yang menikmati adalah kalangan atas.

Konsekuensi lebih lanjut dari kebijakan otonomi tersebut adalah biaya pendidikan di PTN menjadi melangit, sehingga peluang bagi orang miskin untuk masuk ke PTN semakin sempit. Memang betul, argumen yang dikemukakan oleh para pengelola PTN bahwa mereka menerapkan konsep subsidi silang agar tetap bisa memberikan ruang bagi kaum miskin masuk ke PTN. Tapi sesudahnya, berapa besar jumlah mahasiswa yang mensubsidi dan berapa besar jumlah mahasiswa yang mendapat silangan sibsidi? Yang sering muncul ke permukaan, banyak kasus calon mahasiswa menggugurkan niatnya masuk ke PTN terkemuka setelah dirinya dinyatakan lulus tes hanya karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar uang masuk yang dinilai cukup tinggi.

Konsep subsidi silang yang dikemukakan oleh para pengelola PTN tidak pernah jelas, sehingga sering hanya dinilai untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan mereka yang cenderung lebih kuat untuk akumulasi kapital saja. Tes masuk model jalur khusus ditempuh bukan dalam rangka untuk menjaring bibit yang berbobot, tapi untuk menjaring modal yang tinggi dari calon mahasiswa.

Mahasiswa yang masuk melalui jalur khusus ini diwajibkan membayar uang masuk di atas puluhan juta. Bahkan, di ITB ada yang bersedia membayar uang masuk mencapai ratusan juta. Tapi tidak pernah ada pengumuman secara terbuka nomor-nomor tes yang diterima melalui jalur khsus beserta besarnya sumbangannya. Yang muncul di media massa hanya mengatakan secara umum, bahwa mereka yang diterima melalui jalur khusus tidak lebih dari 60%, sedangkan 40% persen melalui jalur reguler dan PMDK.

Padahal jelas, yang terjadi di PTN di Indonesia sekarang ini suatu ironi. Ketika bangsa Indonesia sedang dalam keterpurukan dan untuk mengentaskannya dibutuhkan pendidikan yang baik, yang terjadi justru pendidikan tinggi semakin dibuat mahal sehingga hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya saja. Ironisnya lagi, apa yang disebut otonomi PTN itu hanya sebatas pembiayaan saja, sedangkan kebijakan lainnya, termasuk kurikulum, tidak otonom; terbukti masih ada Kurikulum Nasional. PTN tidak bisa otonom dalam menentukan kurikulum yang akan dikembangkannya.

Di Amerika Serikat, universitas-universitas swasta tidak punya kaitan dengan pemerintah, selain bahwa mereka mendapat bantuan dari negara bagian atau kotapraja, namun tidak diawasi atau diatur secara ketat, dan universitas-universitas itu pun tidak mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah pusat.

Yang terjadi di Indonesia, PTN dipersilakan menggali dana sendiri dengan boleh berbisnis, tapi seluruh kebijakan universitas, termasuk pengangkatan dosen, penentuan kurikulum dan sebagainya, dilakukan oleh pemerintah. Ironisnya lagi, tidak muncul perlawanan sedikit pun dari para akademisi di PTN. Perlawanan-perlawanan yang terjadi hanya dilakukan oleh para mahasiswa yang keberatan dinaikkan SPP-nya. Padahal, substansi masalahnya tidak sekedar biaya pendidikan di PTN menjadi mahal, tapi menyangkut soal visi dari PTN itu sendiri. Sebab dalam praktiknya, sulit sekali menggabungkan visi pencerdasan dengan visi bisnis. Bila PTN ditekan untuk mandiri secara ekonomis, maka konsekuensi logisnya adalah mengembangkan usaha bisnis. Dengan demikian, misi pencerdasan masyarakat, termasuk masyarakat miskin, sulit untuk dilakukan.

Buku ini juga memperlihatkan berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang memihak terhadap kaum miskin. Seperti kebijakan pemerintah terhadap BHP, menurut Kartono kebijakan ini bukanlah bentuk otonomi PTN, tapi privatisasi. Meskipun Dirjen Pendidikan Tinggi selalu menolak sebutan BHP sebagai bentuk privatisasi, tapi dalam praktiknya terjadi privatisasi pengelolaan PTN. Karena bentuknya privatisasi, maka konsekuensinya, mereka yang memiliki modal besarlah yang dapat mengakses PTN yang telah diprivatisasi. Ini jelas berlawanan dengan visi pencerdasan bangsa yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Bila pemerintah saja melupakan misi pencerdasan bangsa, lalu siapa yang harus menjalankan misi pencerdasan kepada masyarakat miskin?

*) Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 30 Juli 2009

Komentar

Postingan Populer