Membangun Nasionalisme Melalui Pendidikan


Rasa persatuan atau nasionalisme suatu bangsa merupakan modal utama dalam menghadapi kemajuan ataupun mengatasi krisis bangsa itu. Sejak nasionalisme lahir di dalam kehidupan bangsa dan bertanah air, di dalam sejarah kehidupan manusia dewasa ini, khususnya dalam menghadapi perubahan global, nasionalisme terus merupakan permasalahan yang menentukan hidup matinya suatu negara-bangsa. Dalam menjaga kelangsungan hidup suatu negara-bangsa dengan nasionalisme ini maka sejarah membuktikan betapa negara-negara maju dan negara-negara berkembang menjadikan pendidikan nasionalnya sebagai sarana untuk memelihara, mengembangkan, dan menggunakannya untuk survival.

Nasionalisme Indonesia
Kita mengenal kebangkitan Nasional I pada tahun 1908. Nasionalisme 1908 tumbuh dari sekolompok pemuda yang diikat oleh rasa untuk menentang cengkeraman penjajah di bumi Indonesia. Nasionalisme 1908 tentunya masih terbatas pada kelompok-kelompok terbatas serta bersifat kelompok-kelompok primordial. Nasionalisme 1908 mencapai puncaknya pada tahun 1928 dengan lahirnya Sumpah Pemuda. Oleh sejarawan Anhar Gonggong dikatakan bahwa nasionalisme 1908 adalah nasionalisme otak yang di lahirkan oleh kelompok pemuda yang berpendidikan modern dari kumpulan-kumpulan suku dari berbagai pelosok Indonesia. Nasionalisme yang menggunakan otak ini menggantikan nasionalisme yang lahir dari kesetiakawanan sekelompok pemuda yang masih diikat oleh feodalisme dan premordialisme yang sempit.

Pada tahun 1945 terjadi revolusi yang menggunakan otak sekaligus dengan otot yang dipicu oleh kebangkitan bangsa-bangsa baru sesudah Perang Dunia II. Sejak tahun 1998 kita mengenal nasionalisme yang baru dipelopori oleh mahasiswa yang merontokkan kekuasaan otoriter Orde Baru. Tentunya nasionalisme 1998 berbeda dengan nasionalisme 1945, 1928, dan 1908. Nasionalisme yang muncul karena krisis pada tahun 1998 sangat dipengaruhi bukan hanya faktor-faktor internal bangsa Indonesia tapi juga faktor-faktor eksternal, yaitu gelombang globalisasi, persaingan di dalam kehidupan antarbangsa, dan keinginan kerjasama antarbangsa yang tidak dapat diabaikan di dalam era globalisasi dewasa ini.

Betapapun terjadi perubahan di dalam hakikat nasionalisme, satu benang merah yang dapat ditarik ialah suatu bangsa akan survive apabila bangsa itu tetap memelihara rasa persatuan atau nasionalisme di dalam upaya untuk mengatasi berbagai perubahan atau krisis. Tanpa rasa persatuan tidak mungkin suatu bangsa akan lepas atau mengatasi krisis tersebut. Sebagaimana pengalaman bangsa kita di dalam munculnya berbagai versi nasionalisme, maka yang kita perlukan ialah membangkitkan kembali komitmen akan persatuan Indonesia. Tanpa komitmen atau menjaga persatuan, perubahan yang kita inginkan tidak dapat terlaksana.

Cita-cita reformasi yang telah dicetuskan oleh para mahasiswa dewasa ini seakan-akan telah mulai merosot. Para pemimpin kita, kelompok-kelompok masyarakat kita, mulai terpecah-belah dan kehilangan komitmen akan Indonesia yang satu. Pertanyaannya sekarang ialah, bagaimana kita dapat meningkatkan komitmen Indonesia satu tersebut?

Belajar Kepada Bangsa Lain
Marilah kita lihat pengalaman bangsa-bangsa lain di dalam mengatasi krisis atau untuk mencapai suatu perubahan yang diinginkan. Kita ambil dua negara sebagai contoh, Amerika Serikat dan negara jiran, Malaysia. Ketika masih dalam era Perang Dingin pada tahun 1980, Amerika serikat merasa mulai dikalahkan di dalam persaingan global bukan saja oleh Uni Suvyet pada waktu itu tapi juga oleh negara-negara industri yang mulai berkembang seperti Jepang dan Korea Selatan. Menyadari akan keadaan tersebut maka Amerika Serikat berupaya mengadakan reformasi pendidikannya dengan menyusun suatu Visi 2000 dan dirumuskan di dalam suatu undang-undang pendidikan baru; America 2000. Mereka berpendapat bahwa dengan visi tersebut Amerika akan dapat bersaing dan menjadi pemimpin dunia di masa selanjutnya.

Visi yang sejenis juga dapat kita lihat di negara jiran, Malaysia. Di bawah kepemimpinan Dr. Mohammad pada permulaan dekade 90-an mereka menyusun visi Malaysia yang terkenal dengan visi 2020. di dalam visi Malaysia 2020 tersebut pendidikan dirumuskan sebagai upaya untuk menyiapkan sumber daya manusia yang dapat mewujudkan masyarakat Malaysia yang dicita-citakan, yaitu masyarakat industrial yang makmur. Kita ketahui betapa Malaysia mulai mewujudkan visi tersebut dan harus kita akui bahwa kualitas pendidikan malaysia telah jauh melampau kualitas pendidikan Indonesia. Laporan-laporan internasional menunjukkan betapa sumber daya manusia dan ekonomi Malaysia jauh melampaui Indonesia yang pernah menjadi gurunya.

Peran Pendidikan
Nasionalisme baru yang kita cita-citakan merupakan komitmen dari bangsa Indonesia untuk bersatu menuju masa depan yang lebih baik. Nasionalisme tersebut akan membawa bangsa Indonesia kepada suatu masyarakat yang dicita-citakan atau imagined community menurut Benedict Anderson, sebagai suatu komitmen nasional. Hal ini merupakan suatu bentuk kehidupan yang baru, yang mempunyai sistem nilai yang berbeda dengan sistem nilai dalam nasionalisme masa lalu.

Oleh sebab itu, perubahan ke arah masyarakat demokratis yang baru tersebut menuntut suatu perubahan sistem nilai. Cita-cita reformasi yang kita dengung-dengungkan dewasa ini tidak cukup hanya merupakan suatu perubahan struktur pemerintahan dengan adanya pemilihan presiden dan wakil-wakil rakyat secara langsung. Hal tersebut memang merupakan syarat untuk melaksanakan prosedur kehidupan demokratis, namun syarat-syarat prosedur demokratis tersebut itu saja belum cukup. Terlaksananya dan sukses proses demokratisasi pada akhirnya terletak pada manusianya. Apabila manusia Indonesia hidup dengan nasionalisme model lama pasti tujuan untuk mewujudkan negara demokratis yang berkeadilan tidak akan tercapai karena manusia Indonesia tidak mewujudkannya dalam hidupnya sehari-hari.

Di sinilah letak peran pendidikan dalam arti yang luas, untuk mempersiapkan dan mengkondisikan manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan visi Indonesia masa depan, yaitu masyarakat Indonesia yang didukung oleh nasionalisme baru atau visi yang baru dari kehidupan bersama masyarakat Indonesia. Tidak mengherankan apabila seorang filsuf demokrasi dan pendidikan demokrasi, John Dewey, mengaitkan antara pendidikan dan demokrasi.

Komentar

Postingan Populer