Guru dan Jiwa Profesionalisme


Sampai saat ini, persoalan rendahnya kualitas guru di republik kita masih bagitu kompleks. Seorang guru pun seringkali jatuh dalam kecenderungan mengalihkan persoalan dalam memahami persoalan pengembangan profesionalnya sendiri. Alih-alih mengoreksi diri, kita para guru bisa lebih mudah menyalahkan pembuat kebijakan, entah itu pada tingkat sekolah maupun dalam tingkat pemerintahan. Kalau ada siswa yang selalu tertinggal, kita lebih suka menyalahkan siswa yang tidak mau belajar. Bukankah tugas guru adalah mengajar dan tugas siswa adalah belajar? Kalau siswa tiak mau belajar, meskipun gurunya sudah susah payah mengajar bukankah kesalahan itu terletak pada siswa dan bukan pada guru? Begitu salah satu alasan yang sering kita dengar keluar dari mulut guru ketika para siswa tidak mau belajar sehingga nilainya buruk.

Singkatnya, yang salah dalam dunia pendidikan selalu berada di luar diri guru. Jika model cari kambing hitam ini yang menjadi cara bertindak guru sebagai pendidik, saya khawatir kita akan kehilangan kesempatan untuk memaksimalkan ruang-ruang lain yang masih bisa kita masuki untuk pengembangan guru serta menemukan jalan-jalan keluar yang lebih realistis. Kita semestinya mulai mengarahkan analisis situasi ini pada apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dan dialami para guru, dan bagaimana guru sendiri bergulat dengan dinamika perubahan dalam rentang perjalanan kehidupan professional mereka sebagai guru.

Profesionalitas
Setiap persoalan ada jalan keluarnya. Namun, jalan keluar ini tidak bisa dicapai dengan cara menyederhanakan masalah, mencari jalan pintas, atau malahan mencari kambing hitam. Perubahan sebagai akibat dari pengembangan profesional guru bukanlah pekerjaan yang terjadi dalam semalam. Profesi guru bukan seperti tukang sulap yang dalam sedetik bisa mengeluarkan kelinci, burung, minuman, dan lain-lain dari topi si tukang sulap. Kesalahan utama mengapa kita semakin lama semakin tidak dapat menemukan akar permasalahan tentang profesionalisme guru adalah karena tidak jernih mendiagnosis dan memetakan personal.

Melihat guru seperti ini, ditambah lagi dengan semakin pesatnya laju teknologi dan informasi, kecanggihan guru dalam mengaktualisasikan diri dan memperbaharui pengetahuan seringkali ketinggalan zaman. Dalam sebuah dunia yang berlari begitu cepat seperti tunggang langgang, tampak tertinggal jauh di belakang. Kemajuan teknologi yang ditandai dengan pesatnya informasi dibarengi dengan jungkir balik tatanan nilai seringkali membuat guru seperti hidup dalam sebuah zaman yang keblinger. Guru seperti dipaksa memasuki dinamika kerja yang berada jauh di luar kompetensi dan kemampuannya. Namun, guru tidak boleh ikut keblinger dalam arus ini, sebab dia adalah pelaku perubahan dan pendidik karakter yang menjadi pandu bagi perubahan tatanan masyarakat yang lebih baik.

Agar tidak keblinger dalam arus waktu, guru mesti menyadari bahwa di luar sana ada banyak orang yang mengharapkan kehadirannya, sebab kehadiran guru itu sangat diperlukan. Negara sebagai lembaga politik dalam masyarakat membutuhkan kehadiran guru untuk menjadi eksistensinya. Oleh karena itu, Negara mengatur siapa saja yang boleh masuk kelas mengajar siswa. Selain Negara, masyarakat pun juga ingin agar hanya para guru yang baik dan kompeten saja yang mengajar anak-anak mereka di kelas. Banyak lembaga memengaruhi dan menaruh harapan besar dalam diri guru. Mereka seperti menantikan pemenuhan harapan akan cita-cita mereka dengan mendesakkan terus harapan ini dalam diri guru.

Harapan besar yang diletakkan di pundak guru, baik itu oleh masyarakat maupun Negara ataupun oleh lembaga lain, jika tidak dipahami secara realistis akan membauat guru justru mandul dan tidak berkembang. Harapan yang terlalu besar terhadap guru tidak jarang mengangkat status guru begitu tinggi sehingga sebagai guru ia tidak pernah boleh salah, tidak pernah boleh lelah, harus selalu memberi, mendidik, dan memberikan semua kebijaksanaan itu dalam diri anak didiknya. Telah menjadi mistifikasi terhadap profesi guru. Harapan terlalu tinggi seperti ini bisa membuat guru terpuruk dan malah frustasi.

Guru memang juga manusia, karena itu, ia juga bisa lelah, capek, dan marah. Namun, guru tidak boleh berhenti pada mengutuki orang lain yang mengharapkan terlalu banyak dari peranannya dalam masyarakat. Bukankah masyarakat berhak mendapatkan guru-guru yang baik? Bukankah Negara berhak mengatur siapa saja yang boleh menjadi guru agar para siswa mendapat sosok pendidik yang baik? Tugas mulia guru hanya bisa terwujudkan jika para guru juga mendengarkan aspirasi dari mereka yang mengharapkan banyak dari status mereka sebagai guru. Untuk itu, guru mesti menemukan kebebasan dan kemerdekaannya terlebih dahulu. Tidak pernah ada yang memaksa seseorang menajadi guru. Untuk itu, pertama-tama guru mesti bebas menjadi guru.

Pelaku Perubahan
Kemerdekaan dan kebebasan, menurut saya, menjadi dasar fundamental keberadaan guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Agar dapat memahami bagaimana guru memahami pertumbuhan dalam perubahan, kiranya guru sendiri mesti memahami gramatika perubahan, sebuah penjelasan yang menelisik lebih jauh tentang berbagai macam alasan mengapa seorang guru mau berubah atau tidak. Selain itu, guru pun mesti memiliki kejelasan tentang perubahan apa sesungguhnya yang dimaksud ketika kita berbicara guru sebagai pelaku perubahan. Pemahaman tentang perubahan pendidikan membuat guru menyadari sasaran dan objek dari pengembangan profesionalnya sebagai pendidik.

Komentar

Postingan Populer