Pemuda Indonesia yang Berani Berjejaring

Kegiatan Berjejaring Saya di South Australia

Membangun jejaring lebih dari sekedar mencipta kehidupan yang lebih berwarna, berjejaring dapat membuahkan banyak kebahagian dalam hidup, lebih jauh lagi, berjejaring menghantarkan kepada kemudahan-kemudahan yang tidak terkirakan. Catatan pendek ini sebagai gambaran bagaimana saya selaku pemuda Indonesia berani membangun jejaring di berbagai lini kehidupan yang kemudian membawa keindahan tersediri dalam menjalani hidup. Berjejaring setidaknya bisa membuka cakrawala berfikir yang iklusif, sikap yang toleran terhadap perbedaan dan kepribadian yang tidak mudah diadu-domba. Sehingga untuk menjadi pemuda Indonesia idaman yang bisa berinteraksi dengan semua kalangan, membutukan jejaring yang luas. Terlebih di tengah-tengah mencuatnya intoleransi dan permusuhan berbagai golongan di Indonesia belakangan, berjejaring menjadi alternatif yang bisa ditempuh agar bisa hidup rukun dalam kemajemukan. Lewat berjejaring ini pula, saya dapat mempertajam skill dalam kepemimpinan, public speaking dan kepenulisan yang kelak mengantarkan saya bisa lolos Beasiswa Djarum Plus, Gerakan Indonesia Mengajar, dan Beasiswa LPDP.

Ketika bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar pada tahun 2012-2015 saya selalu mendengar kata-kata bahwa seorang pemuda Indonesia harus memiliki grass root understanding, dan global competence, yang dalam arti lain, pemuda yang memiliki pemahaman akar rumput dan kompetensi global. Saya pun mempercayai dan bertekad mengamalkan konsep tersebut, dimana saya harus memiliki kontribusi kepada masyarakat Indonesia di daerah-daerah terpencil dan memahami dengan senyatanya segala kebutuhan dan keluh kesah masyarakat, namun begitu, saya juga harus memiliki kompetensi pemahaman yang luas dengan cara membangun relasi pertemanan dan pengetahuan di tinggal global. Harapannya saya bisa menjadi pribadi paripurna, yaitu dimana saya bukan hanya bisa berperan dalam skala kecil tapi juga dalam skala lebih besar lewat relasi yang saya bangun.

Saya memahami bahwa keputusan saya menjadi guru sekaligus fasilitator di daerah penempatan Indonesia Mengajar, Majene, Sulawesi Barat dan Tulang Bawang Barat, Lampung menjadi bagian penting dalam pempertajam jejaring saya bersama masyarakat di akar rumput. Selanjutnya saya pun memutuskan kuliah di The University of Adelaide yang ada di Australia bagian selatan dengan tujuan meningkatkan kompetensi saya baik di bidang ilmu pengetahun dan juga relasi. Baik lewat pertemanan di ruang kelas, luar kelas dan juga di dalam berorganisasi. Saya selalu percaya bahwa dimana pun saya tinggal di situ langit dijunjung, dalam artian saya harus menganggap bahwa semua orang yang tinggal dan berinteraksi di sekeliling saya di mana pun saya berada, adalah aset yang sangat berharga. Mereka adalah teman sekaligus keluarga bagi saya. Dimana saya bisa belajar kepada mereka, mendapatkan inspirasi, memperoleh kebaikan dan memperlancar rejeki tentunya. Walhasil,  saya selalu menjaga jejaring dalam keseharian, di organisasi, kampus, dan juga di masyarakat.

Membangun Jejaring dalam Keseharian
Di saat tamat dari Sekolah Dasar, saya melanjutkan belajar di lembaga pendidikan Islam, Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura selama enam tahun. Dari tahun 2000 sampai 2006, rata-rata jaringan pertemanan saya berasal dari Madura, hanya beberapa teman yang berasal dari luar Madura, seperti Jember, Banyuangi dan Probolinggo, yang notabene semuanya bisa berbahasa Madura. Saya bersyukur sejak saat itu karena saya sadar bahwa saya bisa menambah pertemanan yang bukan hanya dari satu kabupaten bahkan bisa membuka pertemanan yang berasal dari luar pulau Madura. Lebih bersyukur lagi ketika saya melanjutkan belajar Bahasa Inggris di Pare Kediri tahun 2006. Di tempat tersebut saya mulai memiliki jaringan pertemanan baru, puncaknya ketika saya memulai lembaran hidup baru di Kota Gudeg, Yogyakarta.

Jejaring perteman saya bertambah drastis ketika saya tinggal dan hidup di kota pelajar tersebut, yaitu dari tahun 2007-2012. Saat itu saya melihat peluang bahwa saya harus membuka jejaring pertemanan dengan lebih luas lagi. Yaitu dengan cara ambil bagian dalam pertemanan saat awal-awal perkuliahan. Ketika teman-teman mendukung saya untuk menjadi ketua kelas, saya menyetujuinya, dengan harapan saya bisa lebih banyak lagi bergaul dengan teman-teman kelas. Memang terbukti, lewat peran tersebut saya semakin percaya diri untuk menjalin interaksi dengan teman-teman kelas di kampus dan juga teman-teman di kos-kosan. Mereka berasal dari banyak daerah yang tersebar di Indonesia. Saya senang sekali bisa melanjutkan kuliah di tempat dimana saya bisa merasakan hidup bersama orang-orang yang multikultur. Saya berinteraksi dengan teman-teman yang memiliki latar belakang yang beragam baik dari perbedaan suku, budaya, dan bahasa. Dari sana, saya bisa menarik benang merah bahwa cara yang cukup manjur untuk mempelajari perbedaan adalah dengan cara merasakan perbedaan itu sendiri. Di mana saya pernah merasakan menjadi minoritas di tengah-tengah orang yang mayoritas punya suku berbeda, bahasa berbeda, atau pun agama yang berbeda, bahkan sebaliknya, dengan menjadi mayoritas.     

Memperluas Jejaring di Organisasi
Lapisan pertemanan kedua adalah dimana saya mulai masuk dalam organisasi ketika berada di Yogyakarta. Pertama saya bergabung dengan organisasi yang berada di bawah naungan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, di antaranya yaitu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Paradigma dan Kelompok Studi Ilmu Pendidikan (KSiP). Kedua, saya terlibat dalam organisasi luar kampus, semisal Komunitas KUTUB, Forum Badan Eksekutif Mahasiswa Yogyakarta (FBEMP), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Forum Indonesia Muda (FIM), Komunitas Peace Generation, dan kegiatan menjadi volunteer seperti di APRRC (Asia Pacific Regional Rotaract Conference).

Komunitas Peace Generation adalah sebuah komunitas yang memperjuangkan perdamaian dengan nilai-nilai youth, pluralism, active non-violence, dan participation. Di komunitas inilah saya belajar dengan teman-teman yang bukan hanya berasal dari kampus tempat saya belajar, akan tetapi anggota di komunitas ini berasal dari bermacam kampus yang tersebar di Yogyakarta seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Taman Siswa, Universitas Sanata Dharma, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, dan masih banyak kampus lain, ada juga sebagian dari kalangan siswa. Dari organisasi ini pula saya mulai belajar dari teman-teman yang berbeda agama, keyakinan, suku, bahasa dan orientasi sek. Saya kemudian sadar bahwa jaringan pertemanan yang beragam latar belakang membuka wawasan saya lebih beragam. Saya merasakan arti sebuah bhinneka tunggal ika dalam organasi ini. Perbedaan bukan lagi sebagai ancaman bagi saya, akan tetapi sebagai suatu kekuatan karena saya tidak akan lagi menutup diri hanya berteman dengan satu kelompok dan juga memahami sesuatu dengan daya nalar yang lebih terbuka, tidak eksklusif.

Bergabungnya saya dengan Forum Indonesia Muda (FIM) menjadi batu loncatan saya menambah jejaring pertemanan yang lebih luas lagi. Di organisasi ini, saya menemukan teman-teman yang berasal dari kampus-kampus yang tersebar di Indonesia. Lewat organisasi inilah, saya bisa pergi ke Jakarta dan bisa jalan-jalan ke Bogor. Saya mendapat tumpangan tempat tinggal di Jakarta dengan pertemanan ini. Sungguh saya merasa bahwa saat itu saya beruntung sekali bisa lolos dalam seleksi FIM angkatan 12 karena saya semakin percaya diri dan lebih memantapkan diri dengan komitmen yang baru, yaitu saya harus membuka lebih luas lagi jaringan pertemanan dan tidak akan pernah cukup dengan hanya berinteraksi dalam satu organisasi saja.

Saya selalu berkeyakinan bahwa setiap kali bergabung dengan organisasi atau komunitas, wawasan saya semakin bertambah. Satu lagi komunitas yang sangat bermanfaat bagi saya, yaitu komunitas KUTUB yang berada di Yogyakarta. Komunitas ini terdiri dari mahasiswa yang tinggal dan belajar di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Sewon Bantul. Dalam komunitas ini, saya berjejaring dengan teman-teman yang belajar menempa diri dengan menjadi seorang yang mandiri lewat jalan kepenulisan. Rata-rata mereka yang berbagung di komunitas KUTUB adalah mahasiswa yang berusaha membiayai sendiri uang kuliah di Yogyakarta dengan cara menulis di media massa. Apabila tulisannya belum dimuat di koran, majalah atau media online, mereka pun ada yang bekerja sebagai loper koran, penjaga di angkringan, pekerja di percetakan dan membantu berjualan buku. Saya sendiri sempat menjadi loper koran sebelum kuliah, yaitu pada tahun 2007, dan kemudian berselang tiga bulan kemudian tulisan saya dimuat di beberapa koran. Dari sinilah saya mulai giat menulis dan membantu berjualan buku keliling beberapa kota di Indonesia sampai akhirnya saya bisa kuliah pada tahun 2008. Teman-teman di komunitas ini, selain mengajarkan saya bagaimana bisa hidup mandiri secara finansial, bisa menulis di media massa, juga melatih saya bagaimana tetap mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara mensyukuri setiap sesuatu yang dimiliki meskipun sedikit.

Berjajaring dengan Masyarakat
Lebih dari dua tahun saya bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar. Sebuah gerakan pendidikan dan kepengajaran dalam rangka ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebelum bertugas di penempatan tempat mengajar, saya mendapatkan pelatihan selama dua bulan bersama 51 Pengajar Muda yang tergabung dalam angkatan kelima. Begitu pun ketika saya kembali bertugas di angkatan ke ketujuh, saya sempat merasakan beberapa minggu ikut pelatihan dengan 51 Pengajar Muda lain. Para Pengajar Muda dalam dua angkatan tersebut adalah kumpulan pemuda yang luar biasa menurut pandangan saya. Mereka adalah pemuda berprestasi terpilih yang punya tekat untuk berkontribusi bagi Indonesia. Saya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan mereka, dimana saya seperti berada dalam lingkungan orang-orang yang punya optimisme tinggi untuk kemajuan Indonesia dengan kontribusi nyata di masyarakat.

Dengan bergabung bersama gerakan ini, saya dipertemukan dua kali dengan wakil presiden Indonesia waktu itu, yaitu bapak Budieono, ketua umum Palang Merah Indonesia, Muhmmad Jusuf Kalla, yang saat ini menjabat wakil presiden Indoensia, direktur Gerakan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan, yang saat ini menjawab gubernur DKI Jakarta, termasuk bupati di Majene, gubernur Lampung dan bupati Tulang Bawang Barat, dan banyak lagi pelaku pendidikan baik di daerah ataupun di pusat. Saat pelatihan, saya juga bisa merasakan bagaimana dilatih soal kemimpinan oleh Kopassus dan Wanadri, serta kepengajaran bersama pemerhati bidang pendidikan seperti perwakilan dari bidang Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, trainer Weilin Han, Munif Chatib, dan banyak tokoh inspiratif lain. Di saat pelatihan, saya dan pengajar muda lain juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke sekolah dasar berbasis alam.

Sehabis pelatihan, saya dan semua pengajar muda lain mulai bertugas di lokasi yang berbeda-beda, seperti di Kabupaten Halmahera Selatan, Majene, Paser, Bengkalis, dan Tulang Bawang Barat. Di lokasi penempatan kabupaten Majene, saya mulai berinteraksi dengan siswa, keluarga angkat, masyarakat dan stakeholder bidang pendidikan. Saya membangun relasi baik dengan keluarga angkat yang saya anggap seperti keluarga sendiri beserta masyarakat secara luas. Seiring perjalanan waktu, saya menyempatkan diri sedikit belajar bahasa Mandar agar bisa semakin terasa dekat bersama mereka. Tidak disangka, kepala desa Awo’ memberikan fasilitas sepeda motor kepada saya karena dianggap telah memberikan kontribusi kepada anak-anak di sana, utama di Sekolah Dasar Negeri Inpres Ulidang.

Berada di lingkungan baru dan membangun relasi dengan masyarakat Mandar, mengajarkan saya akan kekayaan Indonesia. Saya disadarkan bahwa Indonesia sangat luas bukan hanya dari segi bentangan secara geografis, akan tetapi secara kebudayaan. Banyak sekali ilmu yang saya dapatkan dari masyarakat di sana. Selain saya berbagi ilmu kepada anak-anak di ruang kelas dan di luar sekolah dengan kegiatan kelompok belajar dan kursus bahasa Inggris. Saya terkadang diminta untuk mengisi ceramah di masjid dan mengisi majlis taklim. Sungguh saya merasakan akan keistimewaan menjadi bagian dari warga negara Indonesia dengan segala keistimewaan yang ada, dengan keanegaraman kehidupan masyarakat di dalamnya. Saya pun menimba ilmu kepada anak-anak yang saya ajar, lebih-lebih dari masyarakatnya. Bahkan ketika saya menuliskan cerita ini di South Australia, saya mencoba mengingatkan kenangan-kenangan indah itu bersama masyarakat di Mandar.

Hampir sama apa yang saya rasakan ketika terjun dan bertugas kembali di kabupaten Tulang Bawang Barat, provinsi Lampung, di wilayah Hutan Tanaman Industri (HTI), saya kembali belajar hidup dan berinteraksi dengan keluarga asli Lampung dan masyarakat yang beragam, seperti warga dari keluarga transmigran Jawa, Sumatera dan Bali. Di tempat ini pula, saya mengajar di sekolah dasar swasta yang bangunannya sangat sederhana, berdinding kayu. Namun begitu, anak-anak tetap semangat belajar setiap hari, begitu juga dengan guru-guru yang kesemuanya belum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Rata-rata masyarakatnya menanam singkong dan memiliki kebun karet. Hidup di lingkungan masyarakat tersebut yang notabene belum dimasuki aliran listrik dan jalannya belum diaspal, saya belajar betapa masih banyak warga negara yang ada di Indonesia belum merasakan fasilitas-fasilitas bagus yang selayakya disediakan oleh negara. Saya belajar tentang jerih payah para orang tua di sana untuk menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan. Semua itu, pelajaran yang sangat  mengagumkan. Sampai saat ini, saya masih menjaga relasi bersama orang-orang baik di Lampung dan juga di Majene, Sulawesi Barat lewat media sosial atau telpon seluler.

Berjejaring Saat Belajar Bahasa Inggris
Setelah selesai melakukan pengabdian di Gerakan Indonesia Mengajar pada tahun 2015, saya kembali ke Yogyakarta untuk belajar bahasa Inggris. Di saat inilah saya memanfaatkan diri memperluas jejaring dalam perjalanan mengikuti kursus bahasa Inggris di Cillacs, Universitas Islam Indonesia. Di lembaga inilah saya bertemu dengan teman kelas yang sudah lolos beasiswa LPDP, sebagian lain sedang berjuang untuk mendapatkan beasiswa lanjut. Saya sendiri waktu itu sedang berjuang untuk mendapatkan beasiswa S2 keluar negeri. Alangkah senangnya bisa punya teman seperjuangan yang kemudian biasa diajak sharing seputar bahasa Inggris dan rencana studi ke luar negeri.

Kelas pertama yang hendak saya ambil adalah kelas IELTS Preparation, akan tetapi karena saya tidak lolos dalam tes masuk, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti kelas Introduction for IELTS Preparation terlebih dahulu. Di kelas ini, untuk pertama kalinya saya mengenal soal-soal IELTS. Tidak heran, jika pada waktu itu saya merasa kebingungan bagaimana menghadapi soal IELTS, dari mulai bagaimana cara mendeskripsikan sebuah data berbentuk tabel dan membuat essai terhadap satu persoalan. Hari bertambah hari akhirnya program tersebut selesai dan saya berpindah masuk ke kelas IELTS Preparation. Waktu itu, pengajarnya adalah Mr Imam. Saya sangat menikmati kelas tersebut karena pengajarnya tidak hanya berbagi pengetahuan seputar pelajaran IELTS, akan tetapi juga berbagi cerita bagaimana cara mendapatkan beasiswa keluar negeri, di saat sebelum kelas dimulai. Tak heran apabila saya selalu masuk kelas kira-kira 30 menit sebelum kelas dimulai dengan harapan agar mendapatkan cerita-cerita persiapan untuk mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri.

Belum merasa cukup dengan program IELTS, kemudian saya melanjutkan ikut program Speaking Class II, TOEFL Preparation dan Progressive Class angkatan ke 20. Salah satu alasan saya mengambil kursus TOEFL karena waktu itu saya berencana mencoba beberapa beasiswa yang masih menerima sertifkat TOEFL ITP sebagai persyaratannya, semisal beasiswa dari pemerintah Turki dan AAS (Australian Awards Schoolarship). Akan tetapi karena nilai TOEFL ITP saya saat itu belum mencukupi akhirnya saya merencanakan untuk tes kembali. Sampai akhirnya saya kembali mengikuti tes TOEFL ITP sebanyak empat kali. Beruntung sekali salah satu nilai yang saya dapat malah bisa masuk dalam persyaratan mendaftar Beasiswa LPDP. Di kala sempat merasa bosan ikut kursus, teman-teman kelas Progressive 20 mendatangi kosan saya di Papringan, Sleman. Betapa saya merasa bersyukur bisa membangun jejaring pertemanan di kelas, yang kemudian secara tidak sadar membuat saya tetap semangat dan menikmati perjalanan kursus sampai akhir.

Di kala saya diterima beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk kulian di luar negeri, teman-teman kursus saya juga banyak yang diterima beasiswa S2 di dalam dan luar negeri. Senang rasanya bisa merasakan berjuang bersama dan merasakan diterima bersama-sama. Seperti merasakan senasib dalam keberuntungan. Di lembaga inilah, saya untuk pertama kalinya bertemu calon istri saya, Ratna Sari, yang rencananya akan menikah bulan depan, Desember 2017. Rasa syukur kepada Allah SWT patut saya ucapkan, yang telah mempertemukan pasangan hidup dalam jejaring pertemanan di lembaga kursus bahasa Inggris. Dari sini, saya memiliki keyakinan bahwa jodoh dalam hidup akan mudah ditemukan apabila seseorang selalu membuka jejaring pertemanan di mana pun berada.

Mengepakkan Sayap Jejaring di Luar Negeri
Sebelum saya kuliah ke luar negeri, dua jejaring pertemanan yang saya bangun adalah jejaring di kelas Pengayaan Bahasa (PB) oleh LPDP di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Persiapan Keberangkatan (PK) angkatan 102. Sembilan puluh lima persen teman kelas PB sudah berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan S2. Begitupun dengan teman-teman PK yang hampir kesemuanya sudah memulai belajar di kampus dalam negeri dan luar negeri. Bagi saya, memiliki jejaring dengan teman-teman berprestasi di bidangnya masing-masing adalah sebuah hadiah yang sangat indah dari Tuhan karena saya selalu mendapatkan canda tawa, ilmu pengetahuan baru, dan jaringan pertemanan baru yang tidak berkesudahan dari teman-teman tersebut. Meskipun hidup di belahan dunia yang berbeda, saya masih bisa kontak-kontakan bersama mereka, dan bertukar pengalaman di media sosial.

Di saat sudah tinggal South Australia sejak Februari 2017 dan juga melanjutkan kuliah di The University of Adelaide, saya kembali membangun jejaring baru. Setidaknya beberapa komunitas tempat berjejaring saya meliputi banyak bidang, seperti perkumpulan Awardee LPDP South Australia, Perkumpulan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) The University of Adelaide, Masyarakat Islam Indonesia Australia Selatan (MIIAS), Golive Indonesia, dan Warga KCB (Kurralta City Beach). Di komunitas yang beragam ini, saya belajar banyak ilmu pengetahuan baru dengan ciri khas masing-masing. Keaktifan dalam beberapa komunitas tersebut membawa saya merasa tidak sendiri dalam belajar dan berjuang untuk berkontribusi kepada orang lain.

Sampai suatu saat ketika saya diajak oleh Presiden AUU The University of Adelaide (2016-2017) untuk mendaftarkan diri sebagai General Secretary pada Student Representative Coucil di The University of Adelaide, saya mendapatkan banyak dukungan dari jejaring komunitas tempat saya bergabung. Walhasil, saya terpilih dengan meraup suara dua kali lipat lebih dibanding dua saingan saya. Saat ini saya sudah mulai bekerja sebagai perwakilan mahasiswa untuk mahasiswa di tingkat domestik dan internasional. Dimana saya bekerja secara kolaboratif dengan teman-teman yang berasal dari beberapa negara di belahan dunia. Selain saya membangun jejaring dengan mahasiswa di luar negeri, saya juga membangun jejaring dengan dosen di Australia, bahkan juga dengan guru-guru di sekolah dasar ketika mengajarkan budaya Indonesia bersama teman-teman di tiga Sekolah Dasar di South Australia. Kini saya sudah membangun jejaring di tingkat global. Saya merasakan banyak manfaat dari berjejaring, yang membawa saya pada kemudahan-kemudahan dalam menjalani kehidupan di luar negeri. Tentu saja, yang patut menjadi catatan adalah di komunitas apapun saya berjejaring, saya selalu berusaha memberikan kontribusi walau sekecil apapun karena dengan begitu saya sudah menanam benih kebaikan, yang kelak kebaikan tersebut akan kembali kepada diri saya sendiri.


Sebagai penutup cerita pendek ini, saya ingin berpesan bahwa sebagai pemuda Indonesia yang punya semangat tinggi untuk melakukan perubahan positif, tidaklah cukup apabila hanya melakukan perubahan dengan seorang diri, lewat jalan berjejaring inilah para pemuda bisa melakukan kontribusi dengan lebih luar biasa dampaknya kepada masyarakat luas. Setidaknya, berjejaring yang dimulai sejak masih muda adalah sebuah kewajiban yang butuh dilakukan agar hidup tidak hanya sekedar hidup, akan tetapi hidup yang penuh dengan warna yang selalu menghiasi kehidupan ini. Lewat berjejaring seorang pemuda dapat menemukan canda tawa, merasakan hangatnya sebuah pertemanan, mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, dan membuahkan karya kolaboratif dengan dampak yang besar. Apakah Anda seorang pemuda atau punya sepirit muda? Mari berjejaring!

Komentar

Postingan Populer