Menengok Sejarah Pers Indonesia


Judul Buku : Tanah Air Bahasa
Penulis : Taufik Rahzen, dkk.
Penerbit : I:BOEKOE
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Tebal : xiv + 460

Sejarah mencatat bahwa Indonesia di bawah rejim orde baru pernah mengenal satu periode di mana pers bersikap sangat kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan. Pers berani mengkritik penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan kekuasaan, membongkar korupsi yang merajalela di tubuh negara, mengecam ketidakadilan dan ketimpangan-ketimpangan akibat permbangunan, serta mengkritik strategi pembangunan yang kapitalistik.

Tetapi betapa tumbuh dan berkembangnya daya kritis dan kebebasan pers pada waktu itu ternyata tidak berbanding lurus dengan perubahan dan demokrasi, seperti yang diharapkan masyarakat. Kontrol sosial yang diartikulasikan pers ketika itu, tidak banyak artinya untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan perilaku kekuasaan negara. Sebaliknya, daya kritis dan kebebasan pers tersebut justru menumbuhkan frustasi masyarakat. Sebab, daya kritis dan kebebasan pers waktu itu memungkinkan masyarakat mengetahui secara lengkap dan dalam berbagai pernyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Seiring perjalanan waktu, eksistensi pers dalam masyarakat juga telah mengalami beberapa pergeseran. Dalam berbagai kajian yang dilakukan selama ini mengenai keberadaan pers di Indonesia. Setidaknya dapat dilihat dalam dua format, pertama memberikan gambaran tentang kecenderungan pers dalam menjalankan fungsinya di tengah masyarakat. Melalui kecendrungan ini; kekuatan, orientasi dan karakteristik sosial dari media pers dapat dikenali. Baik perkembangan pers maupun kemandekannya- seperti yang terjadi pada tempo, editor, detik (hal.258), bertolak dari keberadaan pers sebagai suatu institusi yang harus menjalankan fungsi imperatifnya di antara dukungan dan tekanan eksternal.

Format kajian kedua, melihat pers sebagai cermin yang digunakan untuk mengenali masyarakat. Asumsinya bahwa proses jurnalisme yang dijalankan dalam dunia pers adalah menampilkan realitas sosial. Berita faktual, komentar perdapat, pada dasarnya merefleksikan realitas masyarakat. Dengan demikian, kajian semacam ini merupakan kajian sosial dengan menggunakan pers sebagai sumber data. Data yang berasal dari informasi pers dapat berupa fakta telanjang, dapat pula bersifat implisit. Kesemuanya dimaksudkan untuk mengenali wacana sosial.

Tentu saja ada keberatan-keberatan metodologis terhadap kepercayaan yang kelewat besar terhadap pers sebagai sumber data yang mengungkapkan wacana sosial. Informasi pers, biasa disebut sebagai realitas media, tidak dapat diterima begitu saja sebagai realitas sosial. Realitas media hanyalah bayangan semu, yang sangat dipengaruhi oleh kecenderungan dari media pers. Dukungan dan tekanan eksternal, kepentingan internal pers sendiri, ikut membentuk bayangan yang tampil dalam pers. Kerenanya wacana sosial tidak mungkin indentik dengan wacana informasi pers.

Di antara silang-silur perdebatan metodologis, bukan berarti harus menafikan eksplorasi yang dilakukan terhadap pers sebagai jalan untuk memahami realitas sosial. Bagi pengkaji sosial, selalu terbuka pintu untuk mencapai terminal terakhir berupa realitas sosial. Banyak jalan, adakalanya memperoleh banyak realitas, tetapi lebih utama adalah menampilkan banyak perspektif. Kekayaan ilmu sosial adalah sikap menerima banyak jalan dan berbagai pandangan.

Setidaknya dengan kehadiran buku ini akan menggiring pembaca agar bisa memahami seratus jejak perjalanan pers di Indonesia beserta dengan tokoh-tokoh pemerannya. Karena kehadiran pers biasanya berhubungan dengan pemihakan pers. Sedangkan posisi pers biasanya dimengerti dalam hubungannya dengan derajat (kuat lemahnya) kedudukan pers dihadapkan dengan negara. Secara hitam-putih, orientasi pers dapat dipilah menjadi dua kutub. Kutub pertama, pers berorientasi ke masyarakat dan kutub kedua, pers berorientasi ke negara. pers dikatakan berorientasi kepada masyarakat bila lebih banyak membela dan mengartikulasikan aspirasi, kehendak dan kepentingan masyarakat. Sebaliknya, pers dikatakan berorientasi ke negara bila lebih banyak membela atau mengartikulasikan kemauan dan kepentingan negara.

Posisi politik pers biasanya diukur dengan derajat kuat atau lemahnya dihadapkan dengan kekuasaan negara. Posisi pers dikatakan kuat apabila ia mampu mempengaruhi terbentuk tidaknya suatu keputusan politik. Sedangkan posisi pers dikatakan lemah jikan tidak mampu mempengaruhi terbentuk atau tidak terbentuknya suatu keputusan politik. Dalam bahasa yang lebih khusus pers dikatakan punya posisi kuat, apabila menjadi salah satu agen atau produsen gagasan dari keputusan politik. Sebaliknya, pers dikatakan punya posisi lemah, jika lebih menjadi resipien atau konsumen dari setiap kebijaksanaan politik.

Secara garis besar pers indonesia sejak tahun 1966 sampai pertengahan januari 1974, lebih berorientasi ke masyarakat, dan masa-masa sesudah itu, pers Indonesia berubah menjadi berorientasi ke negara. Dari tahun 1966 sampai pertengahan januari 1974, lebih banyak menyuarakan dan mengartikulasikan aspirasi dan kehendak masyarakat. Bila pers menyatakan dukungan terhadap kebijaksanaan atau tindakan pemerintah, maka dukungan itu dilakukan secara kritis, kreatif dan korektif. Dukungan pers tersebut dilaksanakan jika kebijaksanaan atau tindakan pemerintah itu dinilai dan dirasakan sesuai aspirasi, kehendak, dan hajat hidup orang banyak. Demikian pula, pers pada periode itu melakukan kontros sosial, koreksi kritik atau kecaman secara berani dan lugas terhadap berbagai kebijaksanaan politik atau retorika dan tindakan politik perjabat negaqra yang tidak sesuai dengan kehendak dan aspirasi masyarakat. Tetapi, setelah sesudah pertengahan Januari 1974 itu, orientasi pers Indonesia kemudian berubah, pers lebih banyak memperhatikan dan menyuarakan kepentingan dan kemauan negara.

Pemahaman terhadap wacana publik secara kritis, bermanfaat untuk mengingatkan kita agar mempertanyakan tempat berdiri kita. Seperti yang Begitu pula bagi kalangan pers, ada baiknya untuk menengok kembali wacana informasi yang pernah disajikannya kepada khalayaknya. Dengan perbandingan terus-menerus atas respon pers terhadap wacana sosial umumnya dan wacana publik (negara) khususnya, pengelolaan pers diharapkan dapat melihat fungsi dan peran imperatif yang dilajankan.

Komentar

Postingan Populer