Penyatuan Ekstatik Sufi Meraih Tuhan
Judul Buku : Nyanyi Sunyi Seorang Sufi
Penulis : James Fadiman dan Robert Frager Al-Jerrahi (Ed.)
Penerbit : Pustaka Al-Furqan
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Tebal : I.XXIV + 347
Jalan sufi bukanlah jalan untuk meninggalkan diri dari dunia, tetapi
sebuah jalan mencari Tuhan, sementara pada saat yang sama dirinya tetap aktif
berada di dunia. Keterkaitan dalam dunia menyediakan kesempatan bagi
pertumbuhan spiritual, peluang untuk menetapkan cinta, kesadaran, kemurahan
hati dan keterikatan. Pendekatan para sufi oleh Syekh Muzaffir, seorang guru
Sufi modern, dirumuskan dalam ungkapan, “biarkan tanganmu sibuk dengan tugas-tugasmu
di dunia dan biarkan hatimu sibuk dengan Tuhan.”
Penyatuan seorang sufi meraih Tuhan sering kali ditempuh dengan jalan
mengingat Tuhan, dimulai dengan pengulangan Nama-nama Tuhan melalui lidah. Kemudian,
pengulangan lidah turun menjadi ingatan oleh hati. Akhirnya, dzikir oleh hati
menjadi makin dalam dan menjadi dzikir ruh. Ada pula dengan menyanyikan Nama-nama
Tuhan diiringi alunan musik merdu, serasa ikut terhanyut dalam dzikir yang
mereka lantunkan atas pengagungan akan kebesaran Tuhan.
Ada banyak perbedaan dzikir dalam perkembangan yang dipraktikkan kalangan
Sufi, diantaranya dzikir sirr, menyanyikan Nama-nama Tuhan dan seringkali
diiringi dengan musik. Implisit dalam istilah dzikir adalah gagasan bahwa kita
akan kembali kepada apa yang kita ketahui dan apa yang telah kita pelajari. Dengan
praktik dzikir Tuhan, pada akhirnya proses mengingat Tuhan makin memperkokoh
jiwa, hingga dalam keadaan dzikir secara utuh. Lalu, eksistensi diri menghilang
dan tinggal Tuhan yang ada dalam diri dan jiwa.
Kadang-kadang seorang sufi merasa kehadiran Tuhan itu begitu langsung. Tetapi
lebih sering kehadirannya mengejewantahkan secara tak langsung, seperti
pembukaan hati, kegembiraan yang meluap-luap, cinta yang mengembang, atau
perasaan haru yang dalam. Kita juga bisa merasakan kehadiran Tuhan secara
mendalam tatkala berduka, akan tetapi pada saat gembira keberadaan Tuhan seakan
hilang kembali.
Para sufi percaya bahwa jiwa manusia berada dalam dunia jiwa-jiwa selama
ribuan tahun. Di dunia ini, jika kita bermandikan kehadirat Tuhan, jiwa kita
mengalami ketuhanan lebih penuh, dan lebih dalam pada diri yang bisa kita
bayangkan. Dalam menjalankan dzikir, sufi mempunyai keinginan menangkap kembali
bagian terkecil yang teranugrah oleh Tuhan.
Dalam kepercayaan sebagian orang, sufisme dianggap jalan cinta. Mencintai
orang lain dan mencintai keindahan dunia, ini bisa mengembangkan kemampuan
dalam mencintai. Semakin kita mencintai, semakin kita bisa mencintai Tuhan. Mencintai
Tuhan adalah mengetahui-Nya. Bagi pecinta sejati, perasaan dileburkan sehingga
pecinta, cinta, dan yang dicintai menjadi satu.
Selain penyatuan rasa cinta diri pada Tuhan, langkah-langkah penyadaran
terhadap orang lain juga sangat esensi untuk semakin mengokohkan dan lebih
dekat kepada Tuhan. Salah satu langkah terbesar yang bisa kita kerjakan adalah
membantu menyembuhkan hati orang lain yang terluka. Tangan kita dibuat untuk
mengangkat mereka yang terjatuh untuk menitipkan air mata bagi mereka yang
menderita dengan cobaan hidup di dunia ini. Sama seperti dalam perkataan Syekh
Muzaffir, “Sebuah kata atau pandangan yang baik akan menghaluskan hatimu dan
setiap kata atau tindakan yang melukai akan menutup atau meresahkan hatimu”.
Dengan kehadiran buku “Nyanyi Sunyi Seorang Sufi”, seorang penulis
mencoba menelaah dan menyajikan perjalanan para sufi meraih Tuhan dengan
beragam kearifan sufistik, kearifan yang bukan hanya sekedar yang diajarkan
dalam agama Islam, tapi juga ada dalam agama lain. R.A. Nicholson menyatakan
bahwa sufisme ada dan berkembang dalam setiap tradisi agama, terutama agama-agama
besar (Yahudi, Nasrani, dan Islam), jiwa universal ada dalam memandang nilai-nilai
pradigma sufisme.
Penulis dalam buku ini, James Fadiman dan Syekh Raqib Robet Fragerl-Jerrahi
(Ed); sangat begitu lihai menyajikan tentang kearifan sufistik, dimana seorang
pembaca diajak menyelaminya dengan perasaan, dan ekspresi bermacam-macam, khalayak
pembaca akan merasa dan senang menyerap dan memahaminya. Karena sebenarnya
sebuah kearifan dalam hati jauh berbeda dengan kearifan yang ada di kepala. Kepala
dapat terkecoh oleh penampakan; namun hati yang arif melihat dengan melampaui
bentuk-bentuk lahiriah menuju dalam realitas.
Kearifan yang bersifat universal, bisa datang dari mana saja, dalam
penciptaan sesuatu di muka bumi Tuhan menyimpan banyak pelajaran dan kelebihan
di dalamnya. Jadi, kearifan bisa muncul bukan hanya saja dari manusia akan
tetapi bisa saja dari mulut seekor keledai untuk bisa diambil hikmahnya. Itulah
sebenarnya mengapa seseorang dituntut oleh Tuhan berusaha mendapatkan manfaat
atas setiap ciptaanNya, memandang kearifan tanpa batas lintas ideologi, agama, kultur,
negara, dan suku.
Sungguh banyak arah jalan menuju Tuhan, sehingga penulis buku ini
mengibaratkan bahwa jalan menuju Tuhan sebanyak jumlah para pencari. Dan
sekalipun demikian semua anak tangga mempunyai unsur-unsur yang sama, sebagaimana
kita lebih banyak memiliki kesamaan dari pada perbedaan. Semakin kita
termotivasi, maka kita akan semakin berusaha untuk setia pada tujuan dan
semakin terbuka peluang untuk menggantikan. (hal.249)
Dengan demikian, buku ini sangat layak dan cocok dikonsumsi siapa saja, tak
cuma muslim meski wajah-wajah kearifan yang disuguhkan di sini banyak yang
berasal dari tradisi mistik Islam. Sebab di jalan Sufi, semua adalah satu dan
satu adalah semua. Ketika nabi Muhammad berkata, “Allah ada dalam hati setiap
hamba yang beriman (Mukmin), maka dengan demikian halnya dengan buku ini; meski
banyak ragam kearifan yang bisa kita nikmati di dalamnya, tetapi secara
mendasar kesemuanya mengajak kita untuk memahami satu hal, yaitu: “Realitas
ruhani’, realitas yang digumuli dengan begitu takzim oleh kaum sufi.
Komentar