Mengkaji Islam dalam Keberagaman


Judul Buku : Mengindonesiakan Islam; Representasi dan Ideologi
Penulis : Dr. Mujiburrahman
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Desember 2008
Tebal : xxiii + 438 halaman

Kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Keragaman Indonesia tidak saja tercermin dari banyaknya pulau yang dipersatukan dibawah kekuasaan satu negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis, agama dan budaya. Tapi kemudian yang menjadi persoalan bukanlah kenyataan bahwa bangsa ini adalah amat beragam, melainkan cara kita memandang dan mengelola keragaman tersebut.

Para pendiri bangsa ini jelas sangat menyadari akan masalah keragaman ini. Pertanyaan mereka saat mendirikan negara ini adalah atas dasar apakah kiranya segala yang beraneka ragam itu dapat dipersatukan? Sejarah mencatat bahwa ada dua jawaban yang berbeda terhadap masalah ini. Satu kelompok mengatakan bahwa kita bisa bersatu atas dasar “kebangsaan” dan satu kelompok lagi mengatakan bahwa kita bersatu atas dasar “agama”, yakni agama Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa ini.

Sejarah bangsa ini juga penuh dengan catatan mengenai dialektika yang terus-menerus terjadi antara paham kebangsaan di satu pihak dan paham keislaman di pihak lain. Dialektika itu kadang bahkan berujung pada tindakan kekerasan yang berdarah-darah, tetapi kadang pula terjadi suatu sintesis dan integrasi secara damai.

Buku ini hadir dari kumpulan tulisan yang membahas berbagai permasalahan sosial keagamaan, baik pada tataran pemikiran ataupun kemasyarakatan. Di antara masalah kontroversial yang diangkat Mujiburrahman yaitu debat soal pluralisme, negara versus negara Pancasila, dan isu-isu seputar kebebasan beragama dan demokrasi. Dalam hal pluralisme, Muji menilai kontroversi ini terjadi setelah MUI mengeluarkan fatwa tahun 2005 yang lalu bahwa pluralisme bertentangan dengan Islam. MUI mendefinisikan pluralisme sebagai pandangan yang menganggap semua agama sama dan dapat membawa kepada keselamatan.

Dalam hingar bingar perdebatan mengenai masalah ini, Muji tidak secara langsung menolak pandangan MUI. Dalam kenyataan memang ada sebagian pemikir yang punya pandangan pluralisme teologis seperti yang didefinisikan MUI itu. Tetapi bagi Muji, debat teologis akan menghabiskan energi karena kita akan sulit menemukan kesepakatan. Persoalan yang lebih penting justru terletak pada tataran sosial. Kerena itu, Muji mengusulkan pluralisme diartikan sebagai sikap yang positif terhadap keragaman, dan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengelola keagaman itu secara damai dan berkeadilan (hal.44). Dengan demikian, sikap saling menerima dan bekerjasama dapat dikembangkan tanpa harus mengorbankan klaim teologis dari masing-masing agama.

Berkenaan dengan masalah negara Islam versus negara sekuler, berdasarkan analisis sosial historis, Muji berpendapat bahwa kompromi yang dibuat oleh para pendidik bangsa ini, yakni bahwa Indonesia adalah bukan negara Islam, bukan pula negara sekuler yang tercermin dalam Pancasila, terutama sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah suatu kompromi politik yang harus dipertahankan jika kita masih ingin mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia ini. Debat tak berkesudahan antara kubu Islam dan sekuler yang terus berkembang hingga saat ini, menurut Muji, tidak akan dimenangkan secara politik oleh pihak manapun. Di sisi lain nilai-nilai moral Pancasila seperti kemanusiaan dan keadilan dapat dijadikan pijakan bersama bagi upaya mengintegrasikan nilai-nilai keislaman/keagamaan dengan nilai-nilai kebangsaan. Karena itu, jalan yang lebih realistis adalah menerima dan mengembangkan kompromi yang sudah ada untuk memecahkan problem-problem yang tengah kita hadapi.

Sebagai ilustrasi mengenai kemungkinan mengembangkan kompromi tersebut adalah kompromi dalam merumuskan kebijakan mengenai isu-isu kebebasan beragama. Kalau kita mau mendapatkan kebebasan beragama yang tuntas, barangkali hanya negara sekuler yang dapat mewujudkannya. Tetapi Indonesia memang bukan negara sekuler, tapi juga bukan negara Islam. Di Indonesia, ada kebijakan mengenai agama-agama yang diakui dan tidak, dan ini dinilai bertentangan dengan kebebasan beragama. Tetapi adakah kiranya suatu jalan keluar kompromi? Berdasarkan teks resmi pemerintahan tahun 1965, di buku ini Muji mengajukan pertanyaan; bisakah kiranya pemerintahan memberikan bantuan finansial dan perlindungan kepada agama-agama yang diakui, dan pada saat yang sama memberikan perlindungan saja kepada agama/kepercayaan yang tidak diakui?

Kompromi yang sama Muji ajukan berkaitan dengan masalah perkawinan. Undang-Undang Perkawinan 1974 merumuskan sahnya perkawinan berdasarkan agama. Dalam hal ini umat Islam dapat melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum Islam dan sekaligus disahkan negara. Tetapi masalah kemudian muncul karena hanya berdasarkan agama yang diakui yang dianggap sah. Selain itu, kawin antaragama umumnya dianggap tidak sah oleh para ahli agama sehingga perkawinan seperti ini sulit untuk dilegalkan. Di sini Muji bertanya; bisakan perkawinan di luar agama yang diakui, dan perkawinan antaragama, disahkan melalui catatan sipil saja?

Sisi lain yang menarik dari buku ini adalah selain mendiskusikan beberapa upaya yang telah dilakukan oleh para cendekiawan kita dalam rangka membangun hubungan kerja sama antara berbagai agama. Penulis juga mencoba mengkaji bagaimana pra ulama Sunni di Abad pertengahan mencoba mencari titik temu dalam rangka menyingkapi perbedaan dan pertentangan teologis intra-umat Islam sendiri. Disini kita diajak untuk berdialektika dalam wacana konflik-konflik sosial keagamaan yang pernah terjadi, paling tidak kita dapat memahami dan mengambil manfaat dalam membangun kebersamaan di masa sekarang dan akan datang.
                                               
*) Tulisan ini dimuat di Majalah Suluh, Maret-April 2009

Komentar

Postingan Populer