Estetika Panggung Politik Indonesia
Menyambut Pemilu 2009, kita bertanya akankah pemilu
kali ini menyajikan estetika politik Indonesia sehingga bangsa ini bangkit dari
keterpurukannya? Itu berarti keindahan demokrasi-politik harus diukir dalam
kebenaran dan kesejahteraan. Sebab, keindahan, kebenaran, dan kesejahteraan
sesungguhnya merupakan tritunggal manifestasi politik sejati.
Membaca peta politik Indonesia, kita bisa menegaskan
betapa estetika, kebenaran, dan kesejahteraan masih jauh dari harapan. Politik
yang semestinya merupakan seni pengabdian untuk mengusahakan kesejahteraan umum
dicabik-cabik menjadi serpihan kebusukan oleh nafsu serakah, haus kekuasaan,
dan sikap yang tidak adil! Akibatnya, citra politik sebagai estetika pengabdian
untuk menyejahterakan seluruh bangsa tetap tinggal sebagai utopia. Dalam utopia
tersebut, pantaslah kita menggagas makna estetika politik Indonesia yang tidak
menjadikan rakyat sebagai tumbal politik.
Adalah filsuf Friedrich Schiller (1759-1805), dalam
konteks Eropa abad ke-18 yang barbar, egoistis, materialistis, penuh pribadi
yang gundah terpecah-belah oleh keadaan, yang menyerukan pentingnya estetika
sebagai jalan menuju kebebasan dan instrumen pendidikan politik. Itulah yang
disebut estetika politik (political
aesthetic, the art political education). Estetika politik adalah
jalan menuju civil society yang
manusiawi, adil, dan sejahtera.
Wajah demokrasi negeri ini pun terpecah-belah akibat
ulah para politikus yang tidak mengedepankan estetika politik dalam tata
kehidupan berbangsa. Panggung politik belum menampilkan pengalaman estetik (aesthetic experience). Padahal, meminjam
bahasa Dante Allighieri (1265-1321), semestinya politik menjadi ekspresi seni
untuk memuliakan Allah melalui rakyat yang dilayani dalam kelimpahan keadilan
dan kesejahteraan. Politik lantas menjadi medan fascinan, penuh keterpesonaan. Begitulah, politik pun
menjadi seni kekudusan yang memberikan kesejahteraan bagi setiap insan. Bahkan,
secara teologis-spiritual mestinya politik menjadi via soteria, jalan mewujudkan keselamatan!
Secara positif-progresif, teologi di balik rumusan
Kitab Hukum Kanonik (KHK) Gereja Katolik menjunjung tinggi citra politik
sebagai medan perjuangan keselamatan, yakni kesejahteraan, keadilan, dan
perdamaian. Dalam rumusan yuridis-teologis-spiritualis, politik disebut sebagai
bagian dari iman. Maka, setiap umat beriman yang terlibat dalam dunia politik
“terikat kewajiban yang khas untuk meresapi dan menyempurnakan tata duniawi
dengan semangat kasih dan warta gembira”.
Sayang, cita-cita luhur politik tersebut hancur lebur
oleh sikap politikus negeri ini yang hampir sebagian besar berperilaku tidak
wangi (untuk tidak mengatakan politikus “busuk”). Akibatnya, peradaban
Indonesia tidak segera cerlang-mulia, melainkan runtuh-luruh bagai buluh yang
patah, andaikan berwajah pun akan tampak keruh-lusuh!
Citra politik Indonesia dicemari politikus yang
mentalitas, sikap, dan perilakunya tak terpuji. Akibatnya, citra politik
menjadi kotor. Orang berlomba mengejar posisi politis tertentu dengan harapan
memperkaya diri.
Sejak paruh terakhir rezim Orde Baru hingga hari ini,
meski sudah menyebut diri sebagai Era Demokrasi, politik Indonesia belum
menjadi seni melayani. Estetika politik sebagaimana dicita-citakan Freidrich,
Dante, dan seluruh anak negeri ini belum terwujud. Tanpa estetika, politik
Indonesia menjadi vulgar, liar, bahkan kasar. Akibatnya, keluhuran martabat
rakyat pun dicampakkan ke comberan demi kekuasaan! Rakyat pun selalu jadi
tumbal elite politik dan kekuasaan.
Dua Aksioma
Sistem multipartai yang dimunculkan lagi dalam Pemilu
2004 dan pemilu 2009 membuat partisipasi rakyat dan para calon pemimpin negeri
ini semakin tinggi. Namun, hiruk-pikuk para politikus justru tidak membuat
keadaan bertambah baik, melainkan semakin pelik. Di dalamnya tersirat dua aksioma
kekuasaan, yakni bahaya terulangnya sejarah kekuasaan yang tak terbatas, I’etat c’est moi, di satu sisi. Di sisi
lain, godaan untuk meraih kekuasaan dengan segala cara terasa makin kuat untuk
meraih kekuasaan dengan segala cara terasa makin kuat.
Tiadanya konsistensi komitmen untuk memberantas
korupsi, rancangan-rancangan koalisi demi meraih kursi kekuasaan, tampilnya
para politikus lama, maraknya politik aliran-sektarian-agamis, dan bebasnya
para koruptor kelas kakap mengunkapkan manifestasi dua aksioma tersebut secara
transparan. Ujung-ujungnya adalah kekuasaan yang tak terkalahkan, bahkan
moralitas objektif dan aspirasi rakyat pun tak mampu menaklukkan arogansi
kekuasaan dengan dua aksiomanya: kekuasaan tak terbatas dan godaan akan
kekuasaan.
Dua aksioma tersebut telah menjerumuskan citra dan
kinerja para politikus kita ke dalam fakta negatif. Secara de facto, citra dan kinerja mereka jelek.
Praktik politik uang begitu halus, namun liar dan ganas. Politik dagang sapi
adalah ekspresi kegamangan para pemimpin kita.
Meminjam bahasa etis Lawrence Kohlberg (1927-1987),
para politikus tanpa ciri estetik memenuhi panggung politik kita dengan lima
karakter dasar. Pertama, mentalitas meterialisme praktis. Dalam sikap
verbal-ritual mereka seakan-akan religius dan beriman kuat, namun hidup
keseharian mereka seolah-olah tidak mengakui adanya Tuhan. Ungkapan
vertikal-iman tidak disertai praktik horizontal-kasih pada sesama. Hanya yang
menguntungkan dirinya sendiri saja yang dijalankannya, selebihnya mereka etis praktis!
Kedua, mentalitas pragmatis sebagaimana tampak dalam
ucapan mereka yang penuh janji hanyalah “habis manis sepah dibuang”. Slogan
penuh iming-iming yang tak lebih dari semboyan kampungan menghiasi kampanye
mereka. Namun, setelah berkuasa semua janji dicampakkan dan diingkari, meski
telah disumpah jabatan demi Tuhan!
Ketiga, sikap oportunis seorang borjuis yang membuat
mereka menjadi politik sebagai komoditas bisnis laris manis. Logika
komersialisasi jabatan dan kekuasaan sah bagi mereka: telah kukeluarkan banyak
uang untuk jabatan, maka jabatan musti mendatangkan berlimpah ruah keuntungan.
Maka, jangan salahkan realitas power tends
to corrupt. Itulah logika sikap oportunis komersialisasi politikus!
Keempat, mentalitas formalisme. Yang penting adalah
penampilan memukau dan memikat, tak peduli rakyat melarat. Sikap munafik tak
juga membuat hati nurani mereka terusik, meski telah membohongi publik. Soal
etika tak usah ditanya, itu bukan urusan mereka. Yang penting kaya raya, tak
peduli andaikan mati masuk neraka!
Kelima, positivisme hukum. Hukum positif, siapa
takut? Kebenaran dan keadilan itu kan idealnya.
Argumentasi logis atas nama kekuasaan jadi pegangan. Karenanya jangan heran
bahwa para elite politik dan mantan penguasa negeri ini tidak akan mampu bersentuh
pasal-pasal hukum. Tak perlu takut didakwa salah, pasti akan ada celah yang
membuat kebenaran dan keadilan kalan tercampak ke tanah bagai sampah!
Begitulah, dalam bingkai etis Kohlberg, surealisme
estetika politik Indonesia makin hari makin heboh. Kapankah rakyat Indonesia
mengalami damai sejahtera, tidak jadi tumbal, aspirasinya didengar dan
diwujudkan, konflik tak lagi berserakan di Nusantara? Masih adakah harapan
untuk membersihkan bangsa ini dari praktik korupsi? Mungkin trauma sejarah
akibat darah tertumpah karena ulah para politikus kita dihapuskan dan diganti
estetika politik demi mewujudkan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan merata
bagi keseluruh bangsa?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya akan menjadi
seni pelayanan, estetika pengabdian. Mampukah para calon pemimpin kita menjadi
politik sebagai estetika pelayanan? Itulah yang menantang kita sebagai bagian
dari civil society dalam setiap
pemilu, yakni partisipasi dalam upaya menggoreskan lukisan indah bagi estetika
politik Indonesia. Caranya? Pilihlah wakil rakyat dan partai yang mampu
menampilkan estetika politik dengan roh pelayan dan pengabdian bagi kepentingan
seluruh bangsa.
Komentar
Bagi yang memiliki online shop dan ingin membuat website toko online lengkap, desain menarik, gratis penyebaran, SEO, Backlink, agar usaha nya mudah ditemukan banyak pembeli di internet, sehingga bisa meningkatkan penjualan, klik ya.. Jasa Pembuatan Website Toko Online Murah
Pusat Penjualan Hijab Jilbab Kerudung Terbaru harga termurah di Indonsia : Grosir Jilbab Murah di Indonesia.