Politik Damai Menuju Perbaikan Nasional


Sejarah politik di negeri kita memang penuh konflik dan kering etika. Kebencian, balas dendam, dan penghimpunan kekuatan dengan segala cara untuk mengawasi lawan menjadi bagian dari budaya elite politik dan masyarakat. Jarang ditemukan perwujudan nilai-nilai politik yang santun seperti toleransi, pemberian maaf, serta penghargaan terhadap hukum dan keadilan. Keretakan yang sudah terlanjur seakan sulit diperbaiki. Dalam konteks ini, Forum Rembuk Nasional dan wahana-wahana sejenis menuju islah nasional harus terus dikembangkan.

Prasangka sosial (social prejudices) adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap masih munculnya konflik baik konflik antar-elite maupun horizontal. Masing-masing berusaha mempertahankan identitas seraya tidak mengakui dan bahkan berusaha menghilangkan identitas orang lain. Mereka enggan berinisiatif melakukan komunikasi politik, dan selalu berada dalam tempurung kelompoknya, seraya menjegal dan memberanguskan tempurung-tempurung kelompok lainnya. Identitas kelompok ibarat pisau bermata dua: mempertahankan eksistensi diri sambil berusaha menghilangkan eksistensi kelompok lain.

Menyikapi Masa Silam
Ketika terjadi peralihan rezim, selalu muncul masalah bagaimana menyikapi masa lalu. Apa yang seharusnya terjadi pada pelaku kesalahan masa lalu? Di sebagian negara para domistik, ataupun pengadilan internasional. Sebagaian pelaku kejahatan dibuang keluar negeri. Dan, di beberapa negara komisi kebenaran dan rekonsiliasi dibentuk, bertugas mencari dan kemudian mengakui fakta-fakta yang benar.

Pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, menurut Peter R. Baehr, memang kontroversial. Di satu sisi, ada kalangan yang lebih suka kebijakan memaafkan, melupakan dan berpendapat bahwa proses ini akan terganggu oleh pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi itu. Di sisi lain, muncul gagasan bahwa pemberian maaf yang benar hanya mungkin setelah adanya pengakuan atas fakta-fakta tersebut.

Dari perspektif etika politik, pengampunan politik sesungguhnya diperlukan dalam kerangka rekonsiliasi menuju Indonesia Baru. Sikap pemaaf dalam konteks politik adalah tindakan yang menggabungkan kebenaran moral, kesabaran dan pengendalian, serta komitmen untuk memperbaiki hubungan yang retak. Ini tidak berarti mengabaikan begitu saja kejahatan masa lalu dan mengabaikan keadilan. Tindakan hukuman yang adil jelas diperlukan untuk mengetahui apakah mereka itu bersalah ataukah tidak. Islah nasional diperlukan setelah proses hukum dijalankan.

Indonesia baru hanya bisa diraih melalui suatu upaya rekonsiliasi seluruh elemen bangsa. Harus ada komitmen bahwa rekonsiliasi merupakan tugas mulia. Tidak ada wacana yang lebih baik daripada mengajak dengan komitmen yang tulus kepada kebaikan dan perdamaian antarmanusia. (An-Nisa’: 144). Konflik dan friksi yang selama ini terjadi harus mampu diatasi melalui kerja islah politik nasional. “Jika terjadi konflik antara dua golongan dari orang-orang beriman, maka damaikanlah mereka.” (Al-Hujarat: 9).

Tanpa upaya islah, bangsa ini akan berjalan tanpa arah. Tanpa islah, sulit ditemukan strategi yang mujarab untuk mengatasi masalah bangsa yang kompleks ini. Bangsa ini benar-benar membutuhkan transformasi sosial ke arah yang lebih sejahtera dan damai. Padahal, perubahan sosial yang genuine, seperti dikatakan Hannah Arendt (1959), hanya dapat dilahirkan oleh dua kemampuan: memaafkan dan membuat kesepakatan yang baru. Salah satu sebab mengapa suatu kesepakatan yang baru sulit dicapai adalah keengganan para pemimpin politik untuk saling memaafkan dan mengampuni cinta dan pemberian maaf dalam konteks politik belum menjadi kamus politik para pemimpin kita, sementara benci dan balas dendam seakan telah membudaya.

Dalam konteks inilah, sikap dan tindakan memaafkan menjadi penting untuk memperbaharui suatu hubungan kemanusiaan dan memperbaiki retak-retak permusuhan yang sudah terlanjur terjadi dimasa lalu.

Memaafkan dalam konteks politik, seperti dikatakan Donald W. Shriver dalam An Ethics for Enemies: Forgiveness in Politics (1995), bukanlah ‘melupakan’ masa lalu begitu saja, tapi justru mengingatnya kembali dan baru kemudian memaafkan. Dalam proses ini diperlukan upaya mengingat fakta-fakta masa lalu dan melakukan penilaian moral secara jujur terhadap kesalahan, ketidakadilan, dan luka masa lalu itu.

Pengampunan dalam konteks politik tindakan berarti membebaskan hukuman terhadap pelaku kejahatan masa lalu, tetapi berarti bebas dari tindakan balas dendam. Pengampunan dimulai dari suatu dorongan ‘penilaian moral’ dan pengendalian dari rasa dendam. Pengendalian rasa dendam akan membuka pintu menuju masa depan yang tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu. Tanpa ada pengendaliuan ini, suatu penilaian moral justru dapat menimbulkan permusuhan baru.

Begitu pula perlu adanya empati terhadap sisi kemanusiaan politik. Sikap empati ini diperlukan untuk tidak melihat perbedaan secara negatif, tetapi melihatnya secara positif yaitu yang positif dan konstruktif. Sikap empati dilakukan terhadap kesejatian orang lain, bahwa orang lain memiliki hak yang sama untuk hidup secara damai dan membangun kehidupan bersama yang rukun.

Dalam konteks ini, ada teladan menarik dari kisah Nabi Yusuf. Kisah ini merupakan babakan dalam sejarah tentang persaingan, dominasi, tipu daya, dan alienasi dalam keluarga. Tidak sekedar kisah dari keluarga, tetapi lebih merupakan kisah bagaimana komunitas manusia dapat tinggal dan mengatasi serangan-serangan lawan dengan berbagai cara.

Ketika Nabi Yusuf dan adiknya, Benyamin, mendapat status lebih terhormat di sisi ayahnya, Yakub, dan saudara-saudaranya tahu bahwa ayah mereka lebih mencintai Yusuf daripada saudara-saudaranya, mereka membencinya. Namun, setelah meraih kesuksesan, Yusuf mampu melupakan dendam, kebencian dan penderitaan di masa lalu.

Nabi Muhammad SAW juga mencontohkan bagaimana sikap pemaaf terhadap lawan politiknya. Ketika baru saja memperoleh kemenangan atas Mekah, lawan-lawan politiknya yang pernah berusaha membunuhnya, segera dimaafkan dengan mengatakan, “Pergilah! Kalian semua bebas.” Seakan Nabi berujar, “Biarlah yang lalu biar berlalu”, sekarang mari kita buka lembaran baru menuju masyarakat baru yang rukun dan damai.”

Dalam wacana teologis, manusia berhak mendapatkan pengampunan Tuhan. Namun, menyangkut hubungan sesama manusia, pengampunan Tuhan tidak dapat dicapai tanpa adanya pengampunan manusia. Tuhan memiliki sifat pemaaf dan pengampun terhadap hamba-Nya yang berbuat dosa dan berkomitmen untuk memperbaiki diri. Tuhan mengatakan “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan dengan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. 31:134). Sudah semestinya kita dapat mencontoh sifat-sifat Tuhan ini, seperti dikatakan Nabi Muhammad SAW, “Berakhlaklah kalian seperti akhlak Tuhan.”

Kini seluruh komponen bangsa perlu pertama, menanamkan budaya toleran melalui dialog yang efektif. Kedua, memaafkan masa lalu dan membuka kesempatan yang baru. Ketiga, berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat untuk hidup akrab.

Bukankah alasan salah satu wacana publik tentang isu-isu konflik adalah tercapainya sikap saling menghargai setiap kepentingan yang berbeda-beda? Mampukah kita mewujudkan dunia politik kita berjalan lebih damai? Bukankah perwujudan etika politik yang santun merupakan prasyarat bagi terciptanya rekonsiliasi bangsa? Dan, bukankah rekonsiliasi adalah prasyarat bagi terwujudnya Indonesia baru yang dicita-citakan.

Komentar

Postingan Populer