Penguatan Pendidikan Islam


Menarik mencermati tulisan Abuddin Nata tentang Tantangan Pendidikan Islam, dia menilai bahwa pendidikan Islam zaman sekarang selain menghadapi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia juga menghadapi berbagai kecenderungan tak ubahnya seperti badai besar (turbulance) atau tsunami (Republika, 24 Maret 2009). Memang, persoalan pendidikan Islam selalu menarik diperbincangkan secara akademik dalam upaya mencari formulasi alternatif bagi sistem pendidikan yang dalam batasan tertentu dianggap kurang akomodatif terhadap kebutuhan pendidikan Islam.

Konsep pendidikan barat, yang selama ini ditawarkan dan telah berurat berakar dipraktekkan di hampir seluruh dunia muslim, nampaknya belum secara massif berhasil “mencerahkan”. Demikian juga dengan usaha memperkenalkan sistem pendidikan Islam pada tataran pragmatis masih menyiratkan beberapa kerancuan. Institusi sekolah Islam misalnya, sampai saat ini dapat ditemukan nuansa yang kental dengan dualisme atau dikotomisme pendidikan. Sehingga pada konteks pelaksanaan pengajaran, lembaga sekolah Islam terkesan hanya berpretensi untuk mengajarkan aspek disiplin keilmuan agama (religious sciences), dengan memberi porsi yang sangat minim terhadap penelaahan ilmu-ilmu umum (secular sciences).
Seperti halnya dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, untuk memahami terma “pendidikan Islam”, setidak-tidaknya terdapat perbedaan makna dan orientasi. Pertama, yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah tradisi pengajaran Islam yang sudah lama berlaku di masyarakat seperti pesantren, baik yang diselenggarakan oleh organisasi Nahdhatul Ulama maupun Muhammadiyah. Kedua, pendidikan Islam juga sering diidentikkan dengan lembaga madrasah yang sekarang terus mengalami perbaikan konsepnya. Ketiga, istilah pendidikan Islam juga tidak jarang dipahami sebagai sebuah konsep pendidikan.

Munculnya realitas seperti itu, menurut Hasan Langgulung (1989) sebagai akibat dari penataan pendidikan Islam tidak mengakar pada sumber ajaran ke-Islam-an. Sesungguhnya, Islam selalu menempatkan semua kajian keilmuan dalam posisi yang mulia selama diarahkan untuk memahami rahasia Allah dan dikembangkan bagi kesejahteraan manusia. Oleh karena itu deskripsi ketidakutuhan paradigma pendidikan Islam selama ini, terutama dalam bentuk dikotomisme sangat mempengaruhi rancang-bangun kurikulum pendidikan Islam. Kurikulum pendidikan Islam yang ditata atas konsep dasar (philosophical concept) yang rapuh ini, tentu berkonsekuensi semakin terlihatnya inferioritas di kalangan muslim dengan kecendrungan kurang mampu mengakses perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir dan kemajuan teknologi. Fenomena ini menurut Mastuhu (1999) disebabkan kurikulum pendidikan Islam yang terkait dengan pendekatan pengajaran (teaching approach) yang kaku, masih menekankan pada tradisi hapalan, dogmatis, dan ritual.

Dalam perspektif historis, menurut Azyumardi Azra (1998), dengan mengambil kasus perkembangan intelektualisme Islam di era Baghdad, kurikulum pendidikan Islam sejak lama terkesan kurang akomodatif terhadap nuansa eksakta (natural sciences). Tekanan aktivitas pengajaran baik di Kuttab, Masjid, dan Madrasah menunjukkan beberapa pokok kajian seperti; materi filologi, grammar, rethoric, literatur, tafsir al Qur’an, ilmu qiraat, hadist, fiqh, faraidh, dan ilmu kalam (teologi).

Dimana faktor penyebab terjadinya kondisi di atas adalah, secara internal, pada kaum muslim muncul kecenderungan lebih menganggap utama gaya hidup sufisme, sehingga kajian yang bersifat progressive dipandang hanya akan mendangkalkan aqidah dan kurang bermanfaat di akhirat. Dan secara eksternal, dibumihanguskannya khazanah intelektual Islam di Baghdad sejak mengalami puncak kegemilangan dari tahun 750-1250 M oleh pasukan Mongol semakin mempercepat runtuhnya tradisi ilmiah kaum muslim. Mulai dari keruntuhan khazanah Baghdad inilah fenomena pendidikan Islam semakin menunjukkan gejala yang kurang akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan penalaran yang bersifat rasionalistik-empirik-radikal. Seperti kebanyakan madrasah pedesaan di Indonesia, secara material lebih bercoral fiqh oriented meskipun telah mengakomodasi metode belajar yang dialogis. Kondisi ini berlanjut sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya kalangan muslim mengalami keadaan yang dinamakan cultural and intelektual shock yang di satu sisi mengharuskan kaum muslim menginternalisasi ajaran-ajaran normatif Islam, tetapi di lain sisi kaum muslim diharuskan menyesuaikan diri dengan perkembangan konsep pendidikan Barat yang sekuler. Realitas seperti ini tidak ayal lagi mengakibatkan semakin cepat berkembangnya konsep dualisme dalam pendidikan Islam.

Dualisme, atau yang sering disebut juga dengan dikotomisme, dalam pendidikan Islam adalah kondisi paradoksal yang terjadi dalam pelaksanaan pendidikan yang berakhir pada pemisahan subjek kajian yang disebut sebagai islami dan tidak islami terhadap disiplin keilmuan dalam pendidikan. Sehingga dalam skala pragmatis sekolah Islam cenderung tidak memberi ruang yang besar terhadap kajian yang diberi label dengan “ilmu-ilmu umum”. Padahal menurut al-Faruqi seperti dikutip al-Baghader untuk yang satu ini belum satupun universitas Islam yang dapat mengklaim bahwa kurikulum yang mereka tawarkan bersifat Islami.

Hal senada juga dikatakan oleh Joseph S. Sayliowich dalam bukunya Educatioan and Modernisation in The Middle East (1973), dia melihat kondisi pendidikan dan kultur umat Islam, bahwa freedom of thought bukan menjadi nilai utama pada masyarakat Islam, sehingga pembenahan dimensi pendidikan dan budaya harus merupakan refleksi dari persoalan ini. Tesis Sayliowich ini setidaknya merupakan gambaran wacana pendidikan Islam pasca keunggulan Islam dan berlaku untuk sekarang sejak beberapa kurun waktu yang cukup lama.

Kenyataan dikotomi dalam pendidikan Islam tidak lebih merupakan akibat distorsi dari konsep pendidikan luar (Eropa Barat) yang nota benenya bukan berasal dari konsep qur’ani. Kecenderungan pelaksanaan pendidikan Islam yang tidak berorientasi pada pengembangan nalar dan potensi rasionalitas, tetapi justru diarahkan pada hal-hal yang abstrak dan sulit diterima akal sesungguhnya telah benar-benar terjadi. Dalam pada itu, kata Ismail Raji’ al-Faruqi (2000), tidak mengherankan bila universitas kaum muslimin memiliki standar yang rendah, dan selalu tergantung kepada Barat dalam hal pendidikannya.

Fenomena ini, seharusnya segera dicermati karena lebih berpotensi pemperlemah kualitas pendidikan Islam. Ada dua hal yang harus dilakukan sebagai langkah penguatan terhadap konsep pendidikan Islam. Pertama, penguatan atas kemampuan konsep qur’ani dalam menata sistem pendidikan Islam masa depan. Pengakuan ini penting sebagai landasan moral untuk menggali nilai-nilai esensi dari anggitan ilahi. Kedua, kemampuan untuk terus mensosialisasikan nilai-nilai moralitas dan dasar konsep islami kepada publik melalui berbagai media dan kesempatan. Sebab di antara penyebab kurang dipahaminya konsep Islam khususnya dalam tataran pendidikan adalah konsekwensi dari kurangnya sosialisasi konsep ini, termasuk di kalangan muslim sendiri, sehingga sampai sekarang kaum muslim tidak memiliki visi yang utuh dan seragam mengenai konsep kefilsafatan atau epistemologi pendidikan Islam.

Oleh karena itu harus dipahami bahwa corak pendidikan Islam berada pada dua kutub dengan kecendrungan masing-masing sebagai akibat tidak dimilikinya visi dan tidak dipahaminya konsep filosofis pendidikan Islam. Itulah sebabnya kata al-Faruqi saat ini terdapat perbedaan antara kecenderungan pendidikan yang berorientasi pada Islam sciptural-normatif dengan yang mempunyai kecenderungan diskriptik-empirik. Walaupun pada dasarnya jika dipahami konsep dasar filsafat pendidikan Islam pertentangan tajam dan saling merugikan antara kedua kecendrungan itu tidak perlu terjadi. Dalam kaitan itu Fazlur Rahman pernah mensinyalir bahwa persoalan intelektualisme Islam sampai kini masih memburuk, dalam bentuk perlakukan yang ad hoc (sepotong-sepotong) dan terkadang amat intrinsik terhadap konsel al Qur’an.

Komentar

Postingan Populer