Moral dan Janin Berwajah
Judul Buku : Perspektif Etika Baru; 55 Esai tentang Masalah Aktual
Penulis : K. Bertens
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetak : Pertama, 2009
Tebal : ix + 251 halaman
Mengapa peraturan-peraturan moral mengikat kita? Pertanyaan ini sering
diajukan dalam filsafat moral atau etika filosofis. Tentu saja, kita semua
setuju bahwa membunuh, mencuri, menipu, dan sebagainya tidak boleh dilakukan. Kebanyakan
orang menerima kenyataan itu sebagai biasa saja dan tidak merasa perlu untuk
mempersoalkannya. Tetapi dalam filsafat kita ingin mencari lebih dalam dan kita
coba menggali sampai ke fundamen rasional bagi banyak hal yang oleh masyarakat
umum dianggap biasa saja. Begitu pula di sini filsafat moral berusaha menemukan
alasan terakhir yang dapat memuaskan pikiran kita. Karena itu, pertanyaan tadi
tetap menghantui banyak ahli filsafat.
Salah satu jawaban yang menarik diberikan oleh K. Bertens, penulis buku
Perspektif Etika Baru; 55 Esai tentang Masalah Aktual ini. Bertents berpendapat
bahwa dasar terdalam bagi peraturan-peraturan moral harus dicari dalam hubungan
antar manusia, dalam hubungan aku dengan orang lain. Orang lain tampak begitu
sebagai wajah. Wajah itu menyapa aku dan aku tidak boleh tinggal tak acuh saja.
Ia mengimbau aku untuk mengakuinya. Imbauannya mengandung suatu kewajiban etis,
yaitu “jangan membunuh”. Secara konsekuen, bagi Bertens itulah peraturan moral
yang paling penting.
Tentu saja, di sini bukan tempatnya untuk membahas pemikiran Bertens
secara mendalam dan lengkap. Kita harus membatasi diri pada beberapa garis
besar saja. Namun demikian, yang dijelaskan tadi barangkali sudah cukup untuk
memperkirakan kesulitan yang dapat timbul di sini. Kalau wajah menjadi suatu
kategori baru dalam filsafat yang memungkinkan kita untuk memahami mengapa
peraturan-peraturan moral berlaku bagi kita, maka langsung timbul pertanyaan
tentang kehidupan manusiawi yang tidak berwajah. Janin dalam kandungan ibunya
pasti merupakan kehidupan manusiawi, tetapi belum kelihatan, belum tampak, belum
mempunyai wajah. Baru dengan kelahirannya bayi akan tampak sebagai manusia yang
mempunyai wajah.
Dalam bahasa Indonesia, kata “kelahiran” menunjukkan perubahan besar ini. Sebelum
“lahir”, janin masih tersembunyi dalam rahim ibunya. Berabad-abad lamanya, kelahiran
bayi baru menjadi surprise besar bagi keluarganya. Baru saat itu diketahui bayi
ini laki-laki atau perempuan, dalam keadaan sehat atau sakit, utuh atau cacat
badannya. Sebelumnya, satu-satunya tanda kehadirannya adalah perut ibu yang
semakin membesar, tambah lagi gerak-gerik janin sejak bulan kelima.
Dengan perkembangan teknologi medis yang modern keadaan ini berubah drastis.
Karena pemakaian alat-alat canggih seperti USG (ultrasonography), janin dalam
kandungan tidak punya banyak rahasia lagi. Jenis kelaminnya sekarang sudah
diketahui banyak orang tua sebelum bayinya lahir. Kondisi kesehatan sering kali
bisa dipastikan juga. Jika janin ketahuan mempunyai kelainan, kadang-kadang
masalahnya dapat diatasi melalui operasi dalam kandungan.
Beberapa waktu lalu sebuah rumah sakit akademis terkemuka di Belgia
mengumumkan bahwa mereka sudah melakukan operasi ke-250 pada janin dalam
kandungan sejak mulai 10 tahun yang lalu. Operasi yang paling sering dilakukan
menyangkut janin kembar yang selain ari-ari yang sama juga mempunyai peredaran
darah bersama. Melalui operasi dalam kandungan, dua sistem peredaran darah itu
dapat dipisahkan. Kelainan lain yang juga sering kali dioperasi dalam kandungan
adalah hernia diafragmatica, artinya kondisi di mana janin tidak mempunyai
diafragma atau sekat rongga badan, sehingga usus masuk ke dalam dada si janin. Dalam
keadaan serupa itu paru-paru tidak bisa berkembang. Melalui operasi dalam
kandungan, 60 sampai 90 persen lebih banyak bayi dapat diselamatkan ketimbang
tidak dilakukan tindakan medis dalam kandungan.
Lewat teknologi medis, sekarang ini janin dalam kandungan sudah dapat
divisualisasi. Janin sekarang memperoleh wajah. Ia malah sudah dijadikan pasien.
Bagaimana mungkin pasien ini bagi tim dokter yang menangani masalahnya tidak
mempunyai wajah atau tidak merupakan orang lain yang ditolong (dalam arti
seperti dimaksud Bertens)?
Akhir-akhir ini proses visualisasi janin selangkah maju lagi berkat usaha
Profesor Stuart Campbell di Inggris. Dokter spesialis kebidanan dan ahli USG
ini menerbitkan sebuah buku gambar yang memperlihatkan dengan sangat jelas
detail-detail tentang perkembangan Janis selama 38 minggu dalam kandungan
ibunya. Judulnya adalah Watch Me…Grow!. Buku ini ditulis dengan memakai pesona
pertama, seolah-olah janin sendiri memberikan komentar pada foto-foto tersebut.
Cempbell membuat buku gambar ini karena ia sendiri terkesan dengan hasil
teknik yang telah dikembangkannya dan karena reaksi yang mengagumkan dari ibu-ibu
hamil yang ia tangani dengan mengembangkan USG yang konvensional (berdimensi
dua) menjadi 3-D ultrasound scanning (berdimensi tiga) dan kemudian 3-D
ultrasound scanning (berdimensi tiga) dan kemudian lagi sampai 4-D, yang
berarti bahwa gambar janin diberikan 3-4 per detik, sehingga kita bisa
mengikuti segala gerak-geriknya, sama seperti dalam film.
Dengan demikian, kita bisa menyaksikan keadaan prenatal yang tidak diduga
sebelumnya. Pada minggu ke-9 sudah dapat dilihat bentuk-bentuk tubuh seperti
lutut dan siku-siku. Seminggu kemudian sudah tampak dengan jelas mata dan
hidung. Pada minggu ke-11 janin sudah mulai tampak macam-macam ekspresi pada
mukanya: ia tersenyum, ia menyeringai, ia menguap tanda kebosanan, dan
sebagainya. Dulu orang berpikir bahwa senyum pertama baru kelihatan pada bayi 6
minggu sesudah kelahirannya. Sekarang kita dapat menyaksikan bahwa senyum sudah
tampak pada janin. Dan dalam banyak hal lain janin sudah berlaku seperti bayi. Siapa akan
menyangkal lagi bahwa janin sudah memiliki wajah.
Karena pengalamannya bahwa janin sudah begitu jelas menyerupai seorang
bayi, Campbell mengubah pandangannya tentang aborsi. Menurut hukum Inggris, aborsi
boleh dilakukan sampai 24 minggu. Batas 24 minggu itu pilihan, karena pada umur
itu janin dianggap sudah bisa bertahan hidup di luar janin ibunya. Campbell
berpendapat bahwa batas itu harus ditinjau kembali. Ia memikirkan 16 minggu
sebagai batasnya. Memang benar, ia tidak mengusulkan agar setiap aborsi harus dilarang, seperti
diperjuangkan oleh gerakan prolife. Akhirnya, buku yang ditulis K. Bertens ini
menjadi penting bagi masyarakat sebagai upaya membuka mata untuk melihat dengan
jelas hal-hal etis dan tidak etis yang berada di balik setiap masalah dewasa
ini.
Komentar