Pencurian Ikan Kembali Mengusik


Harga diri bangsa kita kembali terusik. Polisi kelautan Malaysia menangkap tiga anggota patrol pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan sesaat setelah patrol KKP menangkap pencuri ikan asal Malaysia pada 13 Agustus lalu di perairan Tanjung Berakit, pulau Bintan, kepulauan Riau. Kasus ini bukanlah yang pertama. Bahkan, setiap tahun kasus serupa hampir selalu terjadi.

Jika dilihat kemasa lalu, maraknya praktik pencurian ikan ini bermula dari diterbitkannya sekitar 7.000 Surat Ijin Penangkapan Ikan (SPI), yang ternyata diperkirakan 70% digunakan oleh Kapal Asing berbendera Indonesia. Masalah perizinan inilah yang menurut TNI AL menjadi biang pencurian ikan, di samping keterbatasan fasilitas pengawasan. Akan tetapi, TNI AL lupa bahwa masalah itu juga tidak lepas dari peran oknum TNI AL yang berkolaborasi dengan nelayan asing. Juga sering dilupakan bahwa jaksa, pengadilan, dan bea cukai yang juga bagian dari rantai masalah kapal asing. Apa artinya peran TNI AL yang menangkap kapal asing kalau pada akhirnya mentah di tingkat penyidikan atau pengadilan?

Langkah maju dalam penanggulangan kapal asing, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan melalui Kepmen Nomor 60/Kepmen/2001 tentang pembenahan terhadap status kapal asing atau eks asing yang dibarengi dengan pemberian peluang kembali beroperasinya kapal ikan asing melalui skema usaha patungan, beli angsur ikan, atau lisensi, sepanjang masih terdapat surplus. Berdasarkan ketentuan yang berlaku secara internasional, sebagaimana tertuang dalam Pasal 62 UNCLOS (United Nations Conversation on the Law of the Sea) tahun 1982, kalau masih ada surplus pemerintah Indonesia harus memberi kesempatan kepada Negara lain untuk memanfaatkan surplus sumber daya ikan di ZEEI tersebut.

Akan tetapi, itu pun hanya bisa dilakukan melalui perjanjian bilateral. Nah, yang menjadi masalah adalah apakah negara-negara pencuri ikan tersebut bersedia melakukan perjanjian bilateral dalam izin kapal asing ini? Dengan Filipina sudah tidak masalah, sebaliknya dengan Malaysia tampaknya masih belum terealisasi. Yang perlu dikaji lebih lanjut adalah mengapa Malaysia terus berkeberatan? Apalah Malaysia berpikir bahwa formulasi kapal asing hanya akan merugikan mereka karena biaya transaksi terlalu tinggi bila dibandingkan dengan kongkalikong dengan petugas di laut, sebagaimana sering mereka lakukan di masa lalu? Di sinilah pentingnya pemerintah Indonesia mendesak ASEAN memecahkan masalah ini.

Kerjasama
Tentu saja kerjasama perikanan ASEAN tersebut hanya bisa terwujud bila ada semangat kebersamaan dalam menghadapi musuh bersama. Selama ini, musuh bersama negara-negara ASEAN adalah pasal global. Seharusnya, ASEAN dapat mendefinisikan perikanan ilegal sebagai musuh bersama yang mesti dihadapi secara bersama-sama juga. Terpecahkannya masalah perikanan ilegal itu merupakan setengah dari upaya kita memajukan sektor perikanan dan kelautan. ASEAN dapat menjadi salah satu pintu untuk membantu kita kearah itu.

Mengapa kerja sama ASEAN dalam perikanan penting? Hal ini karena banyak negara ASEAN merupakan produsen perikanan, dan sekaligus memiliki nasib yang sama, mengingat semuanya tergolong negara sedang berkembang. Mereka juga sama-sama mengandalkan pasar Jepang, Uni Eropa, dan Amerika. Berdasar data ASEAN Secretariat, pada tahun 2001 sekitar 50% ekspor produk perikanan ASEAN menguntungkan pada pasar itu senilai US$ 4,5 miliar. Jepang merupakan Negara tujuan utama (US$ 1,5 miliar), disusul Amerika Serikat (US$ 1,1 miliar), dan Uni Eropa (US$ 0,5 miliar). Indonesia sendiri juga lebih banyak melakukan ekspor produk perikanan ke Jepang, yakni sekitar 50%. Dengan pasar ekspor yang sama, Negara-negara ASEAN juga mengalami perlakuan pasar yang mirip. Itulah yang mendorong munculnya kerja sama. Akan tetapi, apakah kerja sama akan memberikan prospek bagi perikanan Indonesia mendatang?

Berdasarkan rencana strategis ASEAN, kerja sama dalam bidang perikanan antara lain mencakup berbagai hal, yakni standarisasi ukuran-ukuran quality control dan teknik pengolahan produk perikanan, serta akuakultur, khsusunya udang. Selain itu, harmonisasi ukuran sanitary sesama anggota ASEAN juga ingin diwujudkan. Bahkan hasil KTT ASEAN ke-9 juga menyepakati kerja sama bidang pemasaran bersama. Kerja sama tersebut, ternyata juga diwujudkan dengan membangun jaringan dengan luar, seperti kerja sama ASEAN dengan NACA (Network of Aquaculture Center in Asia and Pacific) pada tahun 2001 dalam rangka mendorong penerapan teknologi yang tepat dalam akuakultur yang berkelanjutan. Kerja sama ini sangatlah penting dalam menghadapi pasar global, yang makin lama makin merugikan negara-negara ASEAN. Mereka akan bersama-sama menghadapi kasus atau tuduhan yang dinilai tidak adil dan menghambat ekspor produk perikanan mereka. Pasalnya, Negara-negara tersebut sering kali menerapkan berbagai hambatan ekspor, seperti Amerika Serikat yang mengancam akan menggugat dumping impor udang dari 12 negara dengan alasan subsidi. Begitu pula Uni Eropa diskriminatif dengan mengenakan tariff bea masuk untuk produk perikanan Indonesia sebesar 7-24%, sementara untuk Negara-negara ACP (Africa, Carribea, and Pacific) hanya 0%.

Kerja sama dalam bidang-bidang tersebut akan sangat menguntungkan kita, baik dari sisi diplomasi perdagangan di pasar global maupun sisi peningkatan produktivitas dan kualitas produk perikanan kita sendiri. Diakui bahwa kita masih relatif lemah dalam bidang-bidang yang dikerja samakan itu dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Dalam akuakultur, misalnya, Thailand jelas lebih maju dibandingkan kita. Produktivitas tambak udangnya telah mencapai 10 ton/tahun, sementara kita masih belum beranjak dari 2 ton/tahun. Begitu pula Filipina yang telah mampu menghasilkan devisa besar dari industri rumput lautnya, padahal 65% bahan bakunya berasal dari Sulawesi Utara, Tengah, dan Selatan.

Dengan kerja sama ini, kita terpaksa tertuntut untuk menyesuaikan dengan mutu produk perikanan negara-negara ASEAN lainnya, yang pada gilirannya nanti membuat produk kita dapat bersaing dan diterima pasar global.

Komentar

Postingan Populer