Guru Pembawa Nilai Kejujuran?
Peran guru dalam mempersiapkan generasi muda agar siap
menghadapi tantangan dan laju perubahan dalam masyarakat sangat dinantikan.
Perubahan dan pergeseran nilai yang terjadi di dalam masyarakat mendesak guru
untuk kembali menemukan keberadaan dirinya sebagai agen pembawa nilai yang
mengukuhkan keberadaan dirinya sebagai pendidik karakter.
Persoalan pokok yang dihadapi guru sebagai agen
pembawa nilai akibat pergeseran tata nilai adalah masalah seputar kejernihan
visi. Pergeseran tata nilai dalam masyarakat membuat guru bisa kehilangan
pegangan dan pijakan. Kekaburan visi sering ditandai atas ketidakjelasan sistem
nilai yang menjadi bagian dari kinerja guru. Guru mesti bertanya pada diri
sendiri, bagaimana mereka dapat menanamkan nilai-nilai tertentu jika mereka
sendiri terjerumus dalam kekaburan visi, bahkan tidak tahu lagi apa yang
sesungguhnya masih bernilai dan bisa dipertahankan di zaman yang berubah cepat
seperti ini?
Pergeseran tata nilai terjadi bukan hanya berkaitan dengan nilai-nilai individu dan sosial yang menjadi keyakinan guru selama ini. Namun, dalam dunia yang memiliki keterpengaruhan satu sama lain, berbagai macam cara di mana individu menanggapi persoalan dalam masyarakat bisa mengerus tatanan nilai-nilai moral. Guru sekarang ini hidup dalam sebuah masyarakat dan struktur pendidikan yang lemah dalam menanamkan nilai-nilai moral, seperti penyakit kronis korupsi, tipisnya solidaritas antar individu, hilangnya empati dan rasa saling menjaga martabat individu dengan lahirnya budaya kekerasan bahkan kekerasan ini telah merembes masuk juga dalam struktur dunia pendidikan kita.
Hilangnya Kejujuran
Dahulu para siswa dan guru masih menghargai
nilai-nilai kejujuran, sekarang ini nila-nilai kejujuran telah terlibas dan
diganti dengan nilai-nilai yang lebih praktis dan efisien. Para siswa tidak
perlu bekerja keras untuk mendapatkan nilai yang baik, sebab dengan mencontek
mereka bisa memperoleh hasil yang bagus. Jika teman-teman yang mencontek saja
memperoleh nilai baik dan lulus, sedangkan murid yang jujur malah tidak lulus,
tuntutan sosial dan keinginan mempertahankan harga diri di mata teman-teman
sebaya mendorong kegiatan mencontek menjadi hal yang biasa dan wajib dilakukan.
Nilai kejujuran telah tergeser dengan nilai efektivitas.
Demikian juga bagi guru. Buat apa susah-susah
mengajar anak didik tentang mata pelajaran tertentu, toh pada akhirnya dalam
Ujian Nasional (UN) selalu ada tim sukses yang membantu siswa. Kalau perlu,
sekolah mendatangkan lembaga bimbingan belajar agar anak-anak lulus UN. Maka semua
untung. Guru untung sebab tidak dianggap gagal mendidik anak. Dengan usaha ini
selalu siswa lulus. Kepala sekolah dan sekolah mendapat nama. Ini tentu berguna
bagi promosi sekolah di mata masyarakat, sedangkan kepala dinas kabupaten
mendapat nama karena di didaerahnya seluruh siswa lulus UN. Nilai
profesionalisme guru telah tergeser oleh kepentingan praktis berbau bisnis.
Di indonesia, praksis kecurangan selama UN telah
berlangsung lama dan menjadi cara bertindak umum di kalangan pendidik dan
siswa. Situasi ini tidak terjadi begitu saja. Ada proses yang mengawalinya. Di
dalam ulangan harian di kelas, kegiatan mencontek sudah menjadi cara bertindak
umum di kalangan siswa. Siswa sendiri menjadi saksi bahwa kegiatan
contek-mencontek merupakan sesuatu yang wajar. Bahkan dalam arti tertentu,
karena sudah terbiasanya maka tidak dirasakan lagi ada yang tidak beres dalam
kegiatan contek mencontek ini. Dalam tingkat lebih tinggi, misalnya, dalam
tingkat sekolah, demi tujuan praktis menaikkan mutu sekolah. Kecurangan itu
telah terlembaga melalui pembentukan panitia khusus sebagai tim sukses UN.
Tahu Sama Tahu
Kode utama bagi seluruh kecurangan adalah tahu sama
tahu. Para pengawas sudah memahami istilah tahu sama tahu. Ya, istilah tahu
sama tahu ini menjadi satu sarana komunikasi ampuh. Tentu saja, beberapa guru
yang mashih memiliiki hati nurani merasa terpojok dengan situasi ini. Namun,
mereka tidak dapat protes karena lingkungan tidak mendukung. Di beberapa
komunitas guru, mereka yang melaporkan kecurangan malah disingkirkan oleh rekan
kerjanya sendiri. Ia dicap sebagai individu yang tidak mampu menjaga nama baik
korp guru dan sekolah.
Istilah mensukseskan UN jika diucapkan oleh pejabat
pendidikan berarti mempergunakan segala cara agar anak berhasil dalam UN,
bahkan kalau perlu melakukan kecurangan. Tindakan seperti ini bukan saja
aksidental, tapi didukung oleh kebijakan yang sifatnya struktural. Kecurangan
struktural ini terjadi, misalnya dalam penentuan pengawas antarsekolah dengan
memalsukan data mereka. Di ibukota misalnya, para pengawas yang sehari-harinya
mengajar pelajaran Ilmu Alam di sekolah mendadak berubah dalam surat tugas itu
menjadi guru yang mengajar mata pelajaran Ilmu Sosial.
Kecurangan itu begitu terstruktur, didukung oleh
penggunaan kewenangan kekuasaan sehingga para guru merasa tidak ada yang
keliru. Struktur dan sistem pendidikan kita di tingkat paling bawah ternyata
tidak mendukung terlaksananya nilai-nilai kejujuran yang dulu dianggap sebagai
nilai agung yang perlu diajarkan di sekolah. Nilai kejujuran telah tergeser
digantikan oleh nilai efektivitas dan efisiensi. Jika mencontek itu efisien dan
efektif, buat apa masih perlu nilai kejujuran di sekolah yang malah tidak
efektif bagi kelangsungan pendidikan seseorang?
Oleh karena itu menjadi guru pembawa nilai kejujuran
di zaman sekarang merupakan sebuah tantangan. Sekarang, lebih daripada di masa
lampau, guru sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting di dalam
masyarakat. Namun situasi, keadaan, konstelasi sosial, politik, ekonomi, dan
kultural berkaitan dengan citra guru yang tampil dalam masyarakat rupanya
semakin mengasingkan guru dari hakikat dan eksistensinya sebagai pelaku
perubahan dan pembentukan karakter dalam masyarakat. Zaman berubah, namun guru
sepertinya tetap berada di tempat.
Komentar