Pemimpin yang Antah Berantah
Di
tengah ingar-bingar seruan penegakan tindak pidana korupsi di republik ini, ada
realitas pahit yang dibiarkan kelu oleh gilasan waktu. Sejak proklamasi
republik ini, rezim berganti rezim, tetapi lebih dari setengah abad itu masih
sangat banyak pemimpin di daerah belahan republik ini yang tersangkut kasus
korupsi tetap hidup tenang.
Para pemimpin daerah tersebut masih bisa berlalu lalang menduduki kursi
kepemimpinan. Bahkan di beberapa daerah, para pemimpin yang jelas-jelas masih
tersandung kasus pencurian uang rakyat kembali terpilih pada ajang pemilihan
kepala daerah berikutnya.
Mengapa banyak masyarakat begitu gampang dikibuli
oleh pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Meski jelas-jelas melakukan tindak
pidana korupsi terhadap hasil pendapatan daerah, masih saja diberi kursi
kepemimpinan. Seharusnya diadili, malah dipelihara. Perlakuan seperti ini,
seperti layaknya menyimpan tikus dalam rumah yang siap sedia menguras apa saja
yang ada di dalam rumah kita.
Dimanakah yang salah? Dalam beberapa kasus pemilihan
kepada daerah, masyarakat tidak lagi mendasarkan pilihannya pada siapakah tokoh
yang memiliki integritas kepemimpinan yang baik. Tapi lebih pada seberapa besar
materi yang diberikan kepada mereka. Sehingga tidak sulit bagi pemimpin yang
memiliki uang miliyaran bahkan triliunan untuk menjadi pemimpin. Hanya ada
sedikit ruang bagi mereka yang ingin menjadi pemimpin yang hanya bermodalkan
kepercayaan. Tidak salah jika Buya Syafii Maarif (2010) menyebut negeri ini
sebagai negeri antah-berantah.
Mereka, pemimpin daerah menipu sejak mereka
melakukan proses kampanye pemilu sampai menjalani roda kempemimpinan. Berkat
kelihaian dia mengelabui rakyat, semuanya bisa ditutupi. Seakan-akan roda
kepemerintahannya itu telah berjalan dengan lurus, jujur, terbuka dan adil,
sejalan dengan keinginan masyarakat luas.
Dramaturgi pemimpin
Sebenarnya, banyak kalangan masyarakat lain sudah
lelah dengan dramaturgi para pemimpin seperti di atas. Kepemimpinan hanya
dijadikan alat transaksi yang menggiurkan. Nilai ekonomi menjadi kreteria
utama. Bagaimana jadinya jika ini terus terjadi? Ironisnya lagi, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, dalam bulan terakhir, mengeluhkan atas tidak
naiknya gaji selama beberapa tahun dia memimpin republik ini. Terlihat, betapa
menjadi pemimpin hanya semata-mata untuk mencari uang sebanyak-banyaknya.
Padahal masih banyak orang-orang miskin dan
terlantar, kenapa
pemimpin tertinggi di republik ini sibuk memikirkan kenaikan gaji. Padahal,
saya pikir gaji yang didapatkan selama memipin sangatlah cukup untuk membiayai
keluarganya. Haruskah sifat rakus dimiliki para pemimpin, terus kemudian
dipamerkan kepada masyarakat luas. Apakah mereka tidak sadar kalau sebenarnya
uang yang mereka makan adalah uang pemberian rakyat. Rakyat sendiri yang
memberi gaji tidak bisa menikmatinya dengan nyaman. Seharusnya, pemimpin
tertinggi di republik ini memberikan teladan kepada para pemimpin daerah agar
dalam kepemimpinan tidak hanya melulu memikirkan gaji, mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya.
Maka, munculnya figur-figur pemimpin yang meski
semula terkait atau terindikasi tindak pidana korupsi justru diakomudasi atau
diposisikan sebagai pejabat baik di level nasional maupun daerah, ini telah
mencederai nilai-nilai kepemimpinan. Pemimpin yang seharusnya diisi tokoh yang
bersih malah sebaliknya. Cocoklah apabila para pemimpin yang demikian itu
disebut pemimpin yang antah-berantah. Mereka melakukan kebohongan yang seolah
tidak benar-benar nyata.
Kebohongan seperti ini disebutkan oleh Georg Simmel
(1950) sebagai permisibilitas kebohongan, yaitu kondisi ketika kebohongan
menjadi kelaziman. Kebohongan dan kejujuran kemudian sama-sama menjadi bagian
integral dari relasi sosial dalam masyarakat. Ini terjadi karena, dalam struktur
masyarakat yang kompleks, hampir mustahil mewujudkan syarat ideal dari relasi
sosial: saling mengenal satu sama lain.
Pemimpin yang efektif
Dari sinilah bukan hanya perubahan pada struktur
sosial yang penting untuk dilakukan, tapi juga perubahan dan pembenahan pada
struktur sikap mental serta budaya di republik ini untuk bisa pulih dari
penyakit akut. Untuk memulai langkah tersebut yang paling penting adalah
melakukan regenerasi kepemimpinan yang memang betul-betul diakui
kredibilitasnya. Pemimpin dalam konteks ini adalah pemimpin yang mempunyai
integritas, niat baik, serta cerdas secara intelektual dan emosional, memiliki
visi yang tegas, berani, dan mengutamakan kepentingan rakyat dalam setiap
mengambil keputusan.
Perlu juga dibentuk sistem kepemimpinan yang efektif
dan substantif. Ada empat elemen dasar yang terkait dengan pertalian yang saling
berinteraksi dalam kepemimpinan menurut Cecil A. Gibb. Pertama, sang pemimpin
dengan karakteristiknya yang menyangkut kecakapan, kepribadian, dan sumber dayanya
yang relevan untuk pencapaian tujuan. Kedua, para pengikut yang memiliki
karakteristik kemampuan, kepribadian, dan sumber daya. Ketiga, keadaan yang
menjadi tempat terjadinya pertalian tersebut. Keempat, tugas yang berupa
interaksi individu-individu yang dipertemukan.
Keempat elemen itulah yang bisa memperkuat substansi kepemimpinan, di mana
elemen lain selalu bisa mengontrol perjalanan sang pemimpin, dan terus
melibatkan dan membuka ruang bagi partisipasi publik untuk membenahi sistem dan
struktur sosial politik yang membelenggu. Akhirnya terbangunlah pemimpin sesuai
idaman rakyat yang tidak membudayakan prilaku tindak pidana korupsi. Pemimpin
yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemakmuran bagi bangsa serta masih
setia kepada NKRI dan Pancasila.
Komentar