Pendidikan Perdamaian tanpa Kekerasan
Opini M Nurul Ikhsan Saleh, Lampung Post, 12 Juni 2015 |
Sedangkan di Februari, seorang siswi SMA di Yogyakarta dianiaya beberapa teman
sekolahnya dengan cara disekap, ditelanjangi, dan mengalami kekerasan di bagian
kemaluannya. Bahkan hal ini juga terjadi kepada empat siswa sekolah dasar yang
kemudian mendatangi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Manado.
Empat contoh kasus di atas yang terjadi pada beberapa bulan belakangan
memperlihatkan kepada kita bahwa tindakan kekerasan masih saja menghantui para
siswa di sekolah, bukan hanya di kalangan siswa sekolah menengah atas,
melainkan juga terjadi pada siswa di sekolah dasar. Lebih mirisnya lagi adalah
karena teman-teman kelasnya hanya menonton dan mereka tidak langsung berupaya
menghentikan kejadian tersebut. Bahkan sering ditemui di media sosial, seperti
Facebook dan Youtube, para teman-temannya yang melihat perkelahian, hanya bisa
menyoraki dan sibuk merekam lewat ponsel perihal kasus tersebut.
Seharusnya siapa pun yang melihat terjadinya kekerasan, minimal ia akan
berusaha menghentikan kekerasan tersebut. Jika hal itu terjadi di sekolah,
minimal siswa yang lain membantu melaporkan kepada para guru agar kejadian
tersebut dihentikan dan langsung ditangani oleh pihak sekolah.
Bermacam Tindakan
Kekerasan dalam berbagai bentuk apa pun harus dihentikan, tidak peduli
siapa yang melakukan perbuatan tersebut dan di mana pun terjadi. Lebih-lebih
jika hal itu terjadi di sekolah, karena tidak sepatutnya kekerasan terjadi di
dunia pendidikan yang menjadi tempat belajar anak-anak untuk menjadi pribadi
yang baik.
Semua pihak tidak boleh mewariskan kekerasan di sekolah. Sudah sangat sering
pemberitaan di media massa seputar kekerasan dalam bentuk perpeloncoan oleh
senior terhadap juniornya di sekolah, atau oleh kelompok geng tertentu terhadap
geng yang lainnya. Dari situlah dibutuhkan langkah-langkah yang nyata dalam
menghentikan kekerasan yang terjadi di sekolah. Jika memungkinkan, sekolah
perlu membentuk sebuah sistem dalam proses menghentikan tindak kekerasan di
sekolah. Tentu, apabila sekolah bisa mengatasi kekerasan di sekolah, kita tidak
akan pernah lagi mendengar seorang siswa di sekolah ditangkap oleh pihak
berwenang karena melakukan tindak kekerasan.
Dari sinilah, penting kemudian kita mengajarkan pendidikan perdamaian kepada
para siswa di sekolah. Pendidikan perdamaian sendiri adalah proses
mempromosikan perdamaian lewat pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai
untuk membawa perubahan yang mampu dilakukan oleh para siswa, pemuda, dan orang
dewasa dalam mencengah terjadinya konflik dan kekerasan (Chowdhury, 2008).
Tentu butuh peran serta dari semua komponen pendidik di sekolah, seperti guru, pihak
administrator, pustakawan, dan kepala sekolah. Satu sama lain saling bekerja
sama untuk terwujudnya perdamaian di sekolah.
Semua pihak di sekolah bukan lagi menjadi penonton terhadap terjadinya
kekerasan, melainkan menjadi pelopor akan terwujudnya perdamaian. Bukan saatnya
lagi para siswa sibuk melihat dan merekam teman-temannya yang sedang mencaci,
menghina, memukul, mengadu domba, dan berkelahi, akan tetapi bagaimana mereka
terlibat langsung menghentikan kejadian tersebut. Bisa dengan cara melerai,
memberi nasihat, memperingatkan, dan melaporkan kepada gurunya di sekolah.
Dengan demikian, setiap siswa di sekolah punya tanggung jawab masing-masing
untuk menghentikan terjadinya kekerasan.
Terlebih lagi, pihak sekolah yang sangat memiliki peranan besar dalam
mewujudkan perdamaian di sekolah sehingga penting kemudian apabila sekolah bisa
menumbuhkan perilaku-perilaku yang mengarah pada terciptanya perdamaian di
sekolah. Dalam peroses pembelajaran, seharusnya seorang guru tidak lagi
menggunakan metode dan strategi mengajar yang mengarah pada tindak kekerasan.
Seperti halnya jika ada seorang siswa tidak mengerjakan PR atau tidak bisa
mengerjakan soal mata pelajaran di kelas, tidak boleh dihukum dengan cara
kekerasan, karena apabila hal itu terjadi semua siswa di kelasnya akan
mengetahui dan selanjutnya mereka dalam ingat mereka seumur hidup.
Apabila pihak sekolah memperlihatkan tindak kekerasan terhadap para siswa, bisa
saja nantinya siswa-siswa yang lain akan mengikuti tindakan tersebut. Karena
ada kecenderungan, siswa akan mengikuti tindakan-tindakan yang mereka lihat.
Contoh sederhananya adalah di kala saya mengajar anak-anak di sekolah dasar,
anak-anak sering meraung-raung seperti harimau. Ternyata ketika saya tanya
kenapa mereka melakukan perilaku tersebut, mereka manjawab bahwa mereka
menirukan aktor-aktor di film yang mereka tonton di televisi, yaitu Manusia
Harimau. Betapa apa pun yang ditonton anak-anak memiliki pengaruh yang sangat
kuat terhadap perubahan perilaku mereka sehingga sangat mungkin, jika anak-anak
akan melakukan kekeresan jika di sekolah masih sering dijumpai tindak
kekerasan.
Sebagai guru, saya mengajak kepada seluruh masyarakat untuk terlibat langsung
dalam mendidik anak-anaknya untuk tidak terlibat dalam tidak kekerasan. Kalau
perlu, dibatasi untuk menonton film-film yang menyuguhkan perilaku-perilaku
kekerasan yang bisa saja nantinya bisa diikuti oleh anak-anak kita dalam
kehidupan sehari hari. Begitu juga kepada pemangku kepentingan di dunia
pendidikan di sekolah, mari bersama-sama menciptakan pendidikan perdamaian yang
menunjung tinggi nilai-nilai antikekerasan. Tidak cukup kita hanya terus
berdiam diri melihat perilaku kekerasan di sekitar kita, dibutuhkan sikap
saling bahu-membahu memutus mata rantai kekerasan yang terjadi di sekeliling
kita. Dengan harapan agar kehidupan masyarakat Indonesia menjadi rukun dan
tenteram. Semoga.
Artikel ini dimuat pada Lampung Post
Komentar