Menggairahkan Kembali Kaum Santri
Judul Buku : Politik Santri; Cara Menang Merebut Hati Rakyat
Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Impulse dan Kanisius
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 304 halaman
Dalam perkembangannya yang terakhir, kehidupan sosial-politik pemeluk
Islam Indonesia cenderung berbeda dengan gejala sebelum reformasi 1998. Berbagai
gagasan baru Islam muncul terutama dari kalangan generasi muda santri yang
tidak seluruhnya bisa dirujukkan pada konsep-konsep klasik Islam yang salama
ini menjadi referensi utama gerakan sosial dan politik Islam.
Anak-anak muda santri itu kini tidak hanya terlibat aktif di dalam partai
berbasis Islam, tapi juga dalam partai berbasis budaya sekuler dan nasionalis. Bersamaan
itu muncul pula berbagai organisasi sosial Islam baru seperti menandingi
Muhammadiyah, NU, dan berbagai organisasi Islam yang sudah ada sejak sebelum
kemerdekaan seperti Persis, Al-Washiyah, dan Tarbiyah, atau lainnya. Sebagian
di antara aktor muda gerakan Islam tersebut juga aktif dalam berbagai gerakan
lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Buku ini, Politik Santri; Cara Menang Merebut Hati Rakyat membedakan ada
dua peta besar kehidupan sosial-budaya generasi baru santri, yaitu kelompok konservatif
dan liberal. Partai Islam dan gerakan Islam baru dengan aktor utama generasi
baru santri tersebut, tampak berada pada titik silang perjumpaan dua basis
sosial-budaya Islam Indonesia modernis dan tradisionalis. Oleh karena itu, kedua
kelompok tersebut tetap berakar pada komunitas tradisional NU dan Muhammadiyah.
Anak-anak muda santri berbasis budaya NU dan Muhammadiyah tersebut
tergabung dalam berbagai partai Islam baru dan gerakan Islam baru yang
konservatif atau liberal. Pada umumnya mereka lahir dari tradisi NU dan
Muhammadiyah yang sebagian tergabung dalam Jaringan Isalm Liberal (JIL) atau
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Belakangan muncul gerakan Islam
progresif dengan agenda utama pemihakan pada kaum mustadl’afin (tertindas) terutama
dari mereka yang selama ini aktif dalam berbagai gerakan LSM.
Selain itu, tidak sedikit anak-anak muda santri tersebut aktif dalam
berbagai gerakan yang belakangan dikenal fundamentalis, seperti Hizbut Tahrir, Kammi,
Majelis Mujahidin, dan beragam lembaga dakwah kampus (LDK). Sebagian anak-anak
muda santri itu berasal dari keluarga yang tergolong abangan atau priyayi. Mereka
mulai mengembangkan identitas Islam Baru yang tidak semata-mata bisa
dikelompokkan dalam peta klasik; modernis-tradisionalis, santri atau abangan. Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) bisa ditempatkan sebagi kasus keterlibatan anak-anak
santri modernis dan tradisionalis serta anak-anak santri baru berbasis keluarga
abagnan dan priyayi.
Namun demikian, dalam dataran lebih luas, kategorisasi sosial-budaya-santri,
priyayi, abangan-Clifford Geertz tetap relevan untuk memahami dinamika
kehidupan keagamaan, kemudian politik, dair pemeluk Islam di Indonesia. Dapatlah
dikatakan bahwa dinamika sosial-budaya, keagamaan, dan politik Muslim Indonesia
masih tetap bertumpu pada basis epistemologi Geertz-ian atau Weber-ian. Praktik
keagamaan komunitas Muslim selalu berhubungan dengan tingkat partisipasi
pendidiakan, tempat tinggal; keluarga, pekerjaan sebagai petani, buruh, pedagang,
birokrasi, serta status sosial (kaya-miskin).
Berdasar basis epistemologi ini bisa dibaca kecenderungan politik masing-masing
komunitas yang kadang saling bertentangan dari yang tetap kukuh memperjuangkan
Islam sebagai dasar negara yang sering diberi label fundamentalis-radikal
hingga kaum moderat yang lebih mementingkan keberlakuan etika-moral dalam
kehidupan sosial, ekonomi, politik. Kelompok pertama lebih berorientasi pada
agenda struktural dengan terus melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis
atau pengembangan produk hukum dan perundangan dengan agenda besar pemberlakuan
syariah Islam. Kelompok kedua lebih berorientasi pada kegiatan dengan agenda
kultural dengan terus mengembangkan komitmen personal. Arena perjuangan
kelompok kedua lebih berkaitan dengan kegiatan non-politik praktis dan aksi-aksi
kemanusiaan.
Fenomena menarik lainnya ialah lahirnya berbagai partai Islam baru dan
gerakan sosial Islam baru. Partai Islam baru tersebut tidak mempunyai hubungan
kultural dengan partai lama, seperti Masyumi atau NU, dalam posisi keduanya
sebagai partai pada awal kemerdekaan. Gerakan sosial baru juga tidak mempunyai
hubungan struktual dengan Muhammadiyah atau NU sebagai Jam’iyah, walaupun
partai dan gerakan sosial baru tersebut tidak sama sekali terpisah dari dua
organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut, yaitu Muhammadiyah dan NU.
Menurut penulis, Abdul Munir
Mulkhan, masa depan suatu partai politik apakah ia dibangun dari sebuah
keyakinan teologis, tradisi lokal, atau ideologi sekuler, pada akhirnya
ditentukan bagaimana aktivis partai bersangkutan membangun komunikasi dengan
publik pemilih. Realitas politik di dalam perkembangan politik nasional secara
demikian akan mulai mengubah pandangan dan perilaku politik kaum santri ke arah
yang semakin cair yang tidak lagi bersikukuh pada basis ideologi sebagaimana
praktik politik pada gerasi awal kemerdekaan. Gejala politik kaum santri ini
akan semakin telembaga ketika bersamaan itu muncul pemikiran baru Islam yang
lebih kritis terhadap tradisi dari generasi baru santri.
Sementara masyarakat
menentukan pilihan politik berdasar tradisi dan kebutuhan hidup serta pola
hubungan yang terjalin dalam waktu lama dengan partai dan aktivisnya, partai-partai
yang dibangun dari nilai keagamaan kaum santri kurang menaruh perhatian pada
kebutuhan komunikasi politik tersebut. Muncullah polarisasi politik yang
sebagian di antara ahli dijadikan dasar membedakan tiga komunitas politik, yaitu;
santri, priyayi, dan abangan. Walaupun demikian perkembangannya kategorisasi
demikian mulai berubah, tapi tetap bisa dibaca dari model polarisasi kultural
dan teologis tersebut. Dalam hal ini, kategorisasi demikian menurut Mulkhan
juga penting bagi dalam penyusunan kebijakan sosio-politik dan kebudayaan bagi
pengembangan peran Islam dalam sejarah nasional itu sendiri.
*) Tulisan ini dimuat di
Media Indonesia,
27 Juni 2009
Komentar