Polemik Keistimewaan Jogja
Buku : Catatan Perjalanan
Keistimewaan Yogya
Penulis : Haryadi Baskoro
dan Sudomo Sunaryo
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Februari 2010
Tebal : xii + 201 halaman
Di tangah maraknya
penyelenggaraan pilkada dan pilgub di seluruh belahan bumi pertiwi, sebagian
besar wong Yogya justru mengharapkan penetapan kembali Sri Sultan Hamengku
Buwono X dan Sri Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Sebagian dari mereka
melakukan berbagai bentuk aksi massa untuk menunjukkan aspirasi tersebut. Orasi-orasi pun digelar meski tak galak namun lebih
bernuansa dialog budaya. Peristiwa seperti itu sudah berulang kali terjadi
sejak reformasi bergulir. Aksi pada 11 agustus 1998 dikenal dengan aksi
Pisowanan Kawulo Mataram. Aksi pada 26 Agustus 2003 juga tak kalah marak. Sedangkan
pada 2008, aksi-aksi serupa dilakukan semakin intensif dan sistematis.
Ciri keistimewaan Yogya, meski
sampai medio 2008 belum diundangkan dengan jelas, terletak pada kepemimpinan
otomatis Sri Sultan dan Sri Paku Alam sebagai Kepala Daerah DIY. Prinsip itulah
yang sejak masa Kemerdekaan RI dulu dinyatakan sebagai kekhasan DIY, meski juga
tak jelas dan tak tegas. Hal itu pulalah yang dipahami oleh masyarakat sehingga
mereka berulang kali menyampaikan aspirasi tersebut.
Sejauh ini, pendirian
masyarakat Yogya tentang keistimewaan Yogya seperti itu terbukti masih sangat
kuat. Namun di sisi lain, Pemerintah Pusat seolah menganggap sepi keistimewaan
Yogya. Anehnya, keistimewaan Yogya justru terlantar manakala Pemerintah Pusat
sedang melimpahkan perhatiannya kepada daerah-daerah lain. Aceh dan Papua sudah
diperlakukan secara istimewa sejak 2001, yaitu diberikan apa yang disebut
sebagai ‘otsus’. Sejak 2005 sampai 2007 saja, Papua sudah mendapat kucuran dana
dari Pusat lebih dari Rp 41 triliun.
Ketidakjelasan status dan
rumusan DIY akhirnya menimbulkan kebingunan yang berlarut-larut. Meski tidak
pernah menyeruak menjadi sebuah konflik terbuka, setiap pro-kontra tentang DIY
berkembang pula di Yogya. Aksi pro-penetapan dan pro-pilkada menyebul ke
purmukaan silih berganti. Debat pendapat mengenai DIY pun berkembang di mana-mana.
Hadirnya buku ini setidaknya
bisa memberi sumbangan berharga bagi segenap kawulo Yogya dan para pemimpin
masa kini dan masa depan, begitu juga bagi masyarakat luas. Penulis mengupas
secara gamblang sejarah petumbuhan DIY di masa silam, mencermati perkembangan
status dan rumusan DIY, dan menggagas masa depan DIY itu sendiri. Buku ini merupakan
sebuah catatan tentang perjalanan DIY. Pembaca akan mendapatkan gambaran
gamblang mengenai proses sejarah dan kemungkinan kelanjutannya di masa yang
akan datang.
Komentar